Oleh: Jamaluddin Tahuddin
Tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Dalam mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, guru penggerak memegang peranan penting yaitu menjadi pemimpin pembelajaran, menggerakkan komunitas praktisi, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi antar guru, dan mewujudkan kepemimpinan murid.
Sebagai pemimpin pembelajaran, seorang guru penggerak hendaknya memiliki visi yang bisa melahirkan perubahan positif di sekolah. Untuk itu, guru penggerak dituntut mampu mengelola perubahan positif di sekolah dengan menggunakan paradigma Inkuiri Apresiatif (IA) melalui model manajemen perubahan BAGJA sebagai akronim dari Buat pertanyaan, Ambil pelajaran, Gali mimpi, Jabarkan rencana, dan Atur eksekusi. Dalam melakukan perubahan, guru hendaknya merubah paradigma dari berpikir berbasis kekurangan menjadi berpikir berbasis kekuatan. Namun demikian, perubahan positif di sekolah dapat terwujud jika didukung oleh budaya positif yang berlaku di sekolah. Budaya positif ini dapat dimulai dari diri sendiri kemudian dibangun di kelas sebagai komunitas terkecil di sekolah. Budaya positif di kelas dapat dimulai dengan membuat kesepakatan kelas bersama dengan siswa.
Menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak merupakan salah satu tugas guru sebagai pemimpin pembelajaran. Pembelajaran yang dilakukan harus disesuaikan dengan kebutuhan belajar murid melalui pembelajaran berdiferensiasi. Kebutuhan belajar murid dapat berupa minat, kesiapan dan profil belajar mereka yang tentunya berbeda untuk setiap anak. Sehingga pembelajaran yang dilakukan mesti disesuaikan dengan minat, pemahaman awal terhadap materi yang baru, maupun gaya belajar mereka, apakah auditori, visual, atau kinestetik. Pembelajaran yang dilakukan tentulah tidak cukup hanya dengan peningkatan aspek kognitif dan keterampilan saja. Perlu dibarengi dengan peningkatan kompetensi sosial dan emosional melalui pembelajaran sosial emosional. Siswa juga mesti dilatih mengenali emosi, mengelola emosi dan fokus, empati, berinteraksi sosial, dan mengambil keputusan yang bertanggung jawab. Dalam hal ini, guru bisa menempatkan diri sebagai coach. Diperlukan teknik coaching yang bisa digunakan guru untuk mengarahkan rekan guru atau siswa dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi melalui optimalisasi potensi positif yang mereka miliki.
Kegiatan terbimbing yang dilakukan pada materi pengambilan keputusan sangat berkaitan dengan kegiatan Coaching (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator selama proses pembelajaran terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah diambil. Langkah-langkah pengambilan keputusan yang dilakukan secara terbimbing merupakan implementasi dari teknik coaching yang diperoleh pada materi sebelumnya. Langkah-langkah pengambilan keputusan itu mengarahkan kita dalam menggali potensi yang dimiliki berupa nilai-nilai moral dalam mengambil keputusan sebagai pemimpin pembelajaran. Berdasarkan nilai-nilai moral yang ada dalam diri, kita dapat mengambil keputusan dengan menggunakan 3 prinsip berpikir yakni berpikir berbasis hasil akhir, berpikir berbasis aturan, dan berpikir berbasis rasa peduli. Pengambilan keputusan dengan menggunakan langkah-langkah pengujian tentu sangatlah efektif. Kalaupun dalam pengambilan keputusan itu masih ada sejumlah pertanyaan dalam diri, maka kita bisa merefleksi kembali melalui arahan yang menggunakan teknik coaching. Pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman. Pengambilan keputusan yang tepat tentunya melalui tahapan berpikir dan pengujian benar atau salah sehingga dampak negatif bisa diminimalkan bahkan ditiadakan. Dampak positif yang dihasilkan dapat mewujudkan lingkungan yang positif pula. Lingkungan yang positif tentu akan menciptakan suasana yang kondusif, aman dan nyaman. Guru sebagai pemimpin pembelajaran hendaknya berhati-hati dalam mengambil keputusan. Pemimpin pembelajaran harus memperhatikan paradigma yang berkembang dan prinsip berpikir yang digunakan dalam mengambil keputusan karena keputusan yang diambil seorang pemimpin pembelajaran sangat berpengaruh dalam pembelajaran dan masa depan murid. Filosofi pratap triloka KHD dapat menjiwai setiap keputusan yang diambil oleh pemimpin pembelajaran sehingga menjadikan dirinya sebagai coach yang baik bagi murid-muridnya.
Guru sebagai pemimpin pembelajaran juga diharapkan bisa merubah paradigma dari berpikir berbasis masalah menjadi berpikir berbasis aset. Diawali dengan melakukan indentifikasi aset atau modal yang dimiliki sekolah. Aset atau modal tersebut terdiri dari modal manusia, sosial, fisik, lingkungan, finansial, politik, agama dan budaya. Pemimpin pembelajaran hendaknya bisa mengelola aset atau sumber daya yang dimiliki untuk pengembangan sekolah. Sehubungan dengan hal itu, guru sebagai pemimpin pembelajaran dapat memanfaatkan dan mengelola aset yang dimiliki untuk pembelajaran di kelas, pengembangan sekolah, dan pelibatan masyarakat sekitar sekolah. Pengelolaan sumber daya yang tepat akan membantu proses pembelajaran murid menjadi lebih berkualitas. Sebagai contoh, sekolah yang memiliki modal manusia berupa siswa yang umumnya pintar berenang apabila dikelola secara tepat melalui latihan renang secara rutin sesuai aturan pertandingan maka sekolah tersebut berpeluang melahirkan atlet renang yang bisa mengukir prestasi.
Peran pemimpin pembelajaran dalam pengelolaan sumber daya tentunya sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang mengatakan bahwa maksud pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia, maupun anggota masyarakat. Dalam hal ini pemimpin pembelajaran ketika mengelola sumber daya tentunya menggunakan paradigma berpikir berbasis aset termasuk di dalamnya kekuatan kodrat yang dimiliki anak-anak. Paradigma berpikir berbasis aset sama halnya dengan paradigma Inkuiri Apresiatif yang menggunakan pendekatan kolaboratif dalam melakukan perubahan yang berbasis kekuatan. Paradigma Inkuiri Apresiatif diimplementasikan dalam model manajemen perubahan yang bernama BAGJA (Buat pertanyaan, Ambil pelajaran, Gali mimpi, Jabarkan rencana, dan Atur eksekusi). Pengelolaan sumber daya itu sendiri tidak lepas dari tujuan agar peserta didik dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Dengan mengetahui aset yang dimiliki melalui proses identifikasi, guru sebagai pemimpin pembelajaran dapat mendiferensiasi pembelajaran dan mengambil keputusan secara bertanggung jawab sesuai dengan aset atau modal yang dimiliki.
Pengelolaan sumber daya untuk program yang berdampak pada murid dapat berupa program sekolah yang berfokus pada kepemimpinan murid maupun kepemimpinan kepala sekolah yang inovatif. Program Sekolah yang berfokus pada kepemimpinan murid, seperti program Adiwiyata, program sekolah alam, serta program yang melibatkan peran serta masyarakat. Pada program yang berdampak murid, murid menjadi agen perubahan dalam mengubah lingkungan sekolah seperti kelas, halaman belakang sekolah, dan perpustakaan menjadi lingkungan yang mereka sukai. Sehingga mereka merasa nyaman di lingkungan sekolah karena sudah sesuai dengan lingkungan yang mereka sukai.
Program yang berdampak pada murid adalah program yang meningkatkan keberpihakan pada murid. Dalam hal ini murid mengambil peran aktif dalam pendidikan mereka dan mengembangkan keterampilan positif dalam proses tersebut. Program yang berdampak pada murid dapat menguatkan yang sudah ada (spirit), mendorong kebermaknaan (komitmen), dan mengimplementasikan kepemimpinan murid (kontekstual). Adapun tahap pelaksanaan program yang berdampak pada murid terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Dalam tahap perencanaan,, kita dapat menggunakan 5 tahapan BAGJA, yaitu Buat pertanyaan, Ambil pelajaran, Gali mimpi, Jabarkan rencana, dan Atur eksekusi. Selain itu, kita juga sebaiknya mempertimbangkan 7 aset/ modal utama yang dimiliki sekolah yang terdiri dari modal manusia, sosial, fisik, lingkungan/ alam, finansial, politik, agama dan budaya. Namun demikian, kita juga tidak boleh mengabaikan risiko yang mungkin bisa muncul pada saat pelaksanaan program yang terdiri dari risiko strategis, keuangan, operasional, pemenuhan, dan reputasi. Risiko strategis merupakan risiko yang berpengaruh terhadap kemampuan organisasi mencapai tujuan. Risiko Keuangan merupakan risiko yang mungkin akan berakibat berkurangnya aset. Risiko operasional merupakan risiko yang berdampak pada kelangsungan proses manajemen. Risiko pemenuhan merupakan risiko yang berdampak pada kemampuan proses dan prosedural internal untuk memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku. Sedang risiko reputasi merupakan risiko yang berdampak pada reputasi dan merek lembaga. Tahapan manajemen risiko terdiri dari identifikasi jenis risiko, pengukuran risiko, melakukan strategi dalam pengendalian risiko, melakukan evaluasi terus-menerus, maju dan berkelanjutan. Untuk mengetahui progres pelaksanaan program, kita juga dapat menggunakan 12 pedoman MELR (Monitoring, Evaluation, Learning, dan Reporting) sebagai alat bantu.
Program sekolah yang berorientasi pada kepemimpinan murid dapat melahirkan dan menumbuhkembangkan budaya kepemimpinan, sikap kolaboratif, rasa tanggung jawab, sikap peduli, dan rasa percaya diri dalam diri murid. Selain menumbuhkan sikap positif, student leadership dapat menumbuhkan keterampilan berkomunikasi dan memiliki keterampilan manajerial yang dapat dimanfaatkan untuk komunitas yang lebih luas di masa yang akan datang.
0 comments:
Post a Comment