Kunjungi Channel YouTube kami di "Guru Itung" Channel

Halaman

Wednesday, June 30, 2021

KESEPAKATAN KELAS DALAM MEMBANGUN BUDAYA POSITIF DI KELAS

 Oleh: Jamaluddin Tahuddin


A. Latar Belakang

Budaya positif sebagai sebuah nilai, keyakinan, dan kebiasaan di sekolah hendaknya berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan bertanggung jawab. Sehingga murid nantinya tidak hanya bisa bermanfaat bagi dirinya, melainkan juga bisa bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Murid yang tumbuh dan berkembang dalam komunitas yang menerapkan budaya positif di sekolah diharapkan dapat membawa budaya positif itu dalam komunitas di masyarakat nanti.

Namun kenyataannya, masih banyak murid yang masih sering terlambat datang ke sekolah bahkan tidak masuk sekolah. Bahkan guru dan staf yang mestinya menjadi teladan bagi murid ternyata tidak jauh berbeda dengan perilaku murid yang terlambat. Padahal keteladanan seorang guru sangat dibutuhkan dalam upaya pembentukan karakter pada murid.

Selain itu, masih banyak guru yang menggunakan hukuman sebagai upaya dalam mengontrol perilaku murid. Sepintas upaya ini kelihatan berhasil mengontrol perilaku murid karena murid menjadi patuh dan taat saat guru yang bersangkutan berada di kelas. Akan tetapi, ketika guru lain masuk seketika murid berubah dan kembali tidak tertib di kelas. Tak jarang mereka juga memperbincangkan kekesalan mereka terhadap guru yang selalu menghukum mereka.

Oleh karena itulah, dibutuhkan sebuah upaya untuk menerapkan disiplin positif yang berpihak pada murid di sekolah. Disiplin pada diri murid hendaknya hadir karena ada motivasi dari dalam diri dan bukan karena terpaksa. Oleh karena itu, melalui peran pada posisi kontrol guru sebagai manajer, guru bertanya dan membuat kesepakatan kelas bersama murid. Murid terlibat langsung dalam pembuatan kesepakatan kelas, sehingga mereka memahami perilaku mereka sendiri, mengambil inisiatif, menjadi bertanggung jawab atas pilihan mereka, dan menghargai diri mereka sendiri dan orang lain.


B. Deskripsi 

Berhubung sekolah belum mendapatkan ijin dari pemerintah untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka, maka pertemuan untuk Menyusun kesepakatan kelas dilaksanakan secara daring dengan menggunakan aplikasi Google Meet. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam menyusun kesepakatan kelas adalah sebagai berikut:

1. Guru memberi kesempatan kepada murid untuk menyampaikan masalah yang dihadapi saat berada di kelas dan harapan kelas yang membuat mereka nyaman. 

2. Guru menanyakan kepada mereka harapan tentang kelas, apa yang mereka harapkan tentang kondisi kelas yang menyangkut guru dan teman-temannya di kelas. Dalam hal ini, guru menanyakan kepada murid “Seperti apa kelas impianmu? Ceritakan kelas impianmu. Bagaimana kondisi kelas, teman-teman, dan guru impianmu?”. Murid lalu menuliskan harapan mereka melalui tautan https://padlet.com/jamalmath28/jqz1wlsy2bxsuqpg.

3. Melakukan diskusi untuk mendapatkan umpan balik dari murid. Guru terlebih dahulu menanyakan kepada murid, “Menurut kalian, apa yang harus kita semua lakukan untuk mencapai kelas impian kita?”. Murid lalu menyampaikan pendapatnya dan guru menuliskannya di kolom kesepakatan.

4. Menyimpulkan ide murid menjadi sebuah kesepakatan kelas.

5. Memberikan kesempatan kepada murid untuk menandatangani kesepakatan kelas yang telah dibuat bersama agar mereka merasa memiliki dan ikut bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Berhubung kesepakatan kelasnya dibuat melalui padlet, maka tanda tangan secara langsung tidak dimungkinkan. Oleh karena itu, murid hanya diberi kesempatan untuk mengklik ikon “Like” dan menuliskan nama di kolom komentar.

6. Memberikan kesempatan sekali lagi kepada murid untuk melihat kembali kesepakatan kelas yang telah dibuat lalu menanyakan kepada mereka, “Apakah kesepakatan kelas ini sudah bisa dilakukan?”. Setelah murid menjawab secara serentak, “Bisaaa..!!”, guru dan murid lalu bersama-sama mengacungkan jempol. Guru lalu mengucapkan terima kasih dan menyampaikan kepada murid bahwa murid yang bisa mentaati kesepakatan kelas akan dimasukkan dalam Tim Murid Penggerak yang akan dibentuk guru nantinya.

C. Hasil 

Setelah pembuatan kesepakatan kelas dan diterapkan di kelas, murid lebih bersemangat dan terlihat lebih aktif dari sebelumnya. Mereka merasa lebih percaya diri menyampaikan pendapat karena mereka merasa dihargai. Murid yang tadinya malas, kini rajin mengikuti pelajaran dan tak lagi telat dalam mengumpulkan tugas. 

D. Refleksi 

Kesulitan yang dihadapi adalah pembelajaran yang masih dilakukan secara daring sehingga masih sulit menerapkan budaya positif di kelas seperti menjaga kebersihan di kelas. Sedangkan tantangan yang dihadapi ketika menerapkan budaya positif di kelas adalah masih ada rekan guru yang masih beranggapan bahwa pemberlakuan hukuman mampu mengontrol perilaku murid dengan baik.

E. Rencana Perbaikan

Pembelajaran yang dilaksanakan secara daring tentu kurang efektif dalam menerapkan budaya positif. Poster kesepakatan kelas yang seharusnya terpajang di dinding kelas tidak bisa terlaksana karena masih menggunakan kelas virtual. Untuk itu, ke depannya guru akan membuat poster kesepakatan kelas kemudian dijadikan sebagai gambar profil grup WA atau sebagai foto display pribadi di hp masing-masing. Poster ini juga akan dijadikan background setiap pertemuan untuk mengingatkan satu sama lain.

F. Dokumentasi



Gambar 1. Guru memberi kesempatan kepada murid untuk menyampaikan masalah yang dihadapi saat berada di kelas dan harapan kelas yang membuat mereka nyaman.

Gambar 2. Guru menanyakan kepada murid tentang kelas impian mereka dan murid menuliskannya melalui padlet

Gambar 3. Melakukan diskusi untuk mendapatkan umpan balik dari murid, mereka menyampaikan pendapatnya dan guru menuliskannya di kolom kesepakatan.

Gambar 4. Menyimpulkan ide murid menjadi sebuah kesepakatan kelas.


Gambar 5. Memberikan kesempatan kepada murid untuk menandatangani kesepakatan kelas dengan menuliskan nama di kolom komentar



Share:

Sunday, June 20, 2021

Catatan Akhir Pekan Guru Penggerak Part 8: Budaya Positif di Sekolah

 Oleh: Jamaluddin Tahuddin


Kegiatan pada pekan ke-8 meliputi: aksi nyata Visi Guru Penggerak pada modul 1.3, mulai dari diri dan eksplorasi konsep budaya positif pada modul 1.4. Aksi nyata modul 1.3 dikerjakan secara mandiri selama 1 JP. Pada aksi nyata ini, CGP menjalankan rencana manajemen perubahan yang telah dibuat pada tahap Koneksi Antarmateri. 
Berdasarkan rancangan tindakan perubahan dengan menggunakan tahapan B-A-G-J-A, maka tahapannya adalah sebagai berikut:
Untuk mengenal kekuatan dan potensi murid pada tahapan Buat Pertanyaan (Define), guru mencari tahu hal baik apa yang dapat ditemukan dari murid biasa dalam kegiatan belajar serta apa yang menarik dari respon, aktivitas, dan hasil belajar murid biasa. Dalam hal ini guru mengamati aktivitas murid biasa baik pada saat belajar di kelas maupun di luar kelas dan memperhatikan hasil belajar mereka.
Pada tahapan Ambil Pelajaran (Discover), guru mencari tahu siapakah murid biasa yang pernah berprestasi, bagaimana cara dia mengatur waktu belajarnya, apa saja yang dia lakukan agar bisa berprestasi, hal baik apa yang telah guru lakukan selama ini yang mendukung usahanya untuk berprestasi, dan kemampuan apa yang dimiliki guru yang dapat membantunya berprestasi. Tindakan yang diambil guru adalah mencari profil murid biasa yang pernah berprestasi, mencari tahu dan mencatat bagaimana dia mengatur waktu belajarnya dan kegiatannya.
Tahapan Gali Mimpi (Dream) ditempuh dengan mencari tahu apakah kebiasaan-kebiasaan baru yang guru lakukan tetap dilakukan setelah murid berprestasi, bagaimana perasaan guru jika berhasil menjadikan murid biasa berprestasi, apa saja hal-hal baru yang bisa dilakukan setelah berhasil menjadikan murid biasa berprestasi, dan hal-hal apa yang mendukung murid biasa bisa berprestasi. Tindakan yang dilakukan oleh guru untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu adalah dengan membuat gambar diri dengan murid biasa yang berprestasi, memajangnya di kamar dan mengingatnya selama guru melakukan usaha-usaha selanjutnya.
Tahapan selanjutnya adalah Jabarkan Rencana (Design). Pada tahapan ini, guru menjabarkan rencana terkait berapa lama target untuk menjadikan murid biasa berprestasi, tindakan-tindakan apa yang bisa mendukung murid biasa berprestasi, bagaimana mengukur kemajuan dan menentukan langkah selanjutnya, bagaimana cara agar murid biasa saling menyemangati untuk bisa berprestasi, dan apa langkah paling sederhana/ langkah pertama yang bisa dilakukan. Untuk itu, guru membuat capaian yang realistis untuk setiap minggunya, membuat catatan besar target yang akan dicapai per minggu dan memajangnya di kaca lemari, membuat time schedule, memasang papan pengumuman untuk mengingatkan program yang akan dilaksanakan, serta meminta istri dan teman sejawat untuk mengingatkan program yang akan dilaksanakan.
Tahap terakhir adalah Atur eksekusi (Deliver). Guru mengatur siapa saja yang akan dilibatkan dalam mewujudkan rencana, berperan sebagai apa saja, kapan usaha menggali potensi murid biasa akan mulai dilakukan, siapa yang bisa mengarahkan dan memantau kegiatan yang dilakukan, bagaimana pencatatan kemajuan dari kegiatan yang saya lakukan, dan siapa yang akan menampung curhatan tentang kesulitan-kesulitan menggali potensi murid biasa. Dalam melaksanakan tahapan ini, guru mengajak guru lain yang memiliki keinginan yang sama, aktif mengikuti kegiatan MGMP, lebih sering berinteraksi dengan murid biasa, dan menjalin komunikasi dengan orang tua murid terkait kegiatan anak di rumah.
Setelah aksi nyata modul 1.3, dilanjutkan dengan modul 1.4 yang membahas tentang Budaya Positif diawali dengan mulai dari diri. Kegiatan ini merupakan kegiatan refleksi yang dilakukan secara mandiri dengan durasi 1 JP. CGP merefleksi proses pendidikan yang ia peroleh dulu di bangku sekolah dalam membentuk karakter dirinya. Sebagai pengantar, CGP diminta sejenak mengingat kembali ketika menjadi murid dulu di SD, SMP, dan SMA. Lalu CGP diminta menceritakan bagaimana budaya interaksinya sebagai murid dengan guru ketika sekolah dulu, dan bagaimana budaya sekolahnya mempengaruhi karakternya. Dari hasil refleksi pengalaman masa lalu yang dikaitkan dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan nilai guru penggerak, CGP lalu menjelaskan konsep budaya positif yang dipahami. CGP kemudian menuliskan harapan yang ingin ditumbuhkan pada diri sebagai seorang pendidik dalam mengembangkan budaya belajar di sekolah serta apa saja kegiatan, materi, dan manfaat yang diharapkan dalam modul.
Kegiatan refleksi ini mengingatkan saya ketika terpaksa harus sering berurusan dengan guru lantaran sering terlambat. Jarak rumah dari sekolah yang relatif jauh dan ke sekolah dengan mengayuh sepeda menjadi sebab saya sering terlambat. Akan tetapi, prestasi hasil belajar yang bagus menarik perhatian bagi guru. Interaksi dan komunikasi yang baik dengan guru membuat mereka mulai memahami kondisiku, bahkan ada di antara guru yang mengajak saya tinggal di rumahnya. Salah satu budaya positif yang terbangun di sekolah adalah guru yang perhatian dan teman-teman yang bersahabat tanpa memandang status dan strata. Selain itu, pengajian bulanan dari rumah ke rumah setiap bulannya membuat silaturahmi semakin terjalin erat. Semua itu membuat saya berkesimpulan bahwa budaya positif adalah berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan yang bersifat positif. Kebiasaan itu bisa secara fisik maupun non fisik. Budaya positif yang sifatnya fisik, misalnya bentuk bangunan atau sarana prasarana yang dirancang khusus agar bisa mendukung keberlangsungan pendidikan. Sementara budaya positif yang berbentuk non fisik, misalnya aturan, tata tertib atau norma yang dibuat dan disepakati bersama yang bisa mendukung tumbuh kembangnya anak. 
Dalam mengembangkan budaya belajar di sekolah, sebagai pendidik saya berharap bisa membangun komunikasi yang lebih baik dengan murid agar bisa mengetahui lebih dekat apa yang mereka butuhkan sehingga muncul rasa saling menyayangi dan saling membutuhkan. Selain itu, saya juga berharap bisa mengetahui bagaimana mengembangkan budaya positif di sekolah agar murid bisa merasakan merdeka belajar dan mengembangkan dirinya sesuai kodrat yang dimiliki.
Kegiatan eksplorasi konsep budaya positif meliputi: urgensi budaya positif di sekolah, peran sekolah sebagai institusi pembentukan karakter, pelajar Indonesia, panduan dalam pelaksanaan program pendidikan karakter di sekolah, landasan budaya positif yang berpihak pada murid, posisi kontrol guru, disiplin positif, hukuman dan konsekuensi, upaya membangun budaya positif yang berpihak pada murid, membuat kesepakatan kelas sebagai langkah awal dalam membangun budaya positif yang berpihak pada murid, dan menciptakan visi sekolah untuk membangun budaya positif yang berpihak pada murid.
Dari kegiatan eksplorasi konsep budaya positif, diketahui bahwa sekolah sebagai institusi pembentukan karakter tentunya menjadikan budaya positif sebagai bagian dari visi sekolah. Menurut filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Oleh karena itu, guru hendaknya membentuk komunitas di sekolah yang menerapkan budaya positif agar murid yang menjadi bagian dari komunitas itu memiliki karakter yang tidak hanya bermanfaat untuk diri sendiri, melainkan juga bermanfaat bagi masyarakat. Dengan demikian, budaya positif yang telah melekat pada diri murid dan menjadi karakter saat mereka hidup di tengah masyarakat serta membentuk komunitas masyarakat yang menerapkan budaya positif.
Adapun yang dimaksud dengan budaya positif di sekolah ialah nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan bertanggung jawab. Dalam mewujudkan budaya positif ini, guru memegang peranan sentral. Guru perlu memahami posisi apa yang tepat untuk dapat mewujudkan budaya positif baik lingkup kelas maupun sekolah. Selain itu, pemahaman akan disiplin positif juga diperlukan karena sebagai pamong, guru diharapkan dapat menuntun murid untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, guru hendaknya memahami dua konsep yaitu posisi kontrol guru dan disiplin positif yang menjadi landasan dari budaya positif.
Posisi kontrol guru menurut Gossen (2004) terdiri dari penghukum, pembuat rasa bersalah, teman, pengontrol, dan manajer. Dalam menumbuhkan disiplin pada diri murid secara intrinsik, guru perlu berperan pada posisi kontrol manajer yang bertanya dan membuat kesepakatan kelas bila murid melakukan kesalahan atau pelanggaran, bukan menuduh, memberi hukuman atau sebagai teman yang membiarkan murid melakukan kesalahan atau pelanggaran. Hal ini dilakukan karena pendidik sebagai pamong yaitu “menuntun” atau memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Anak diberi kebebasan, namun perlu  diberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Oleh karena itu, pada kesehariannya, pamong juga berperan sebagai pengontrol untuk mengingatkan murid jika berada dalam bahaya. Pada kesempatan lain, guru juga dapat berperan sebagai teman ketika berinteraksi agar dapat memahami murid dan membangun kedekatan.
Disiplin positif merupakan landasan untuk membangun budaya positif di sekolah. Disiplin positif mengajarkan keterampilan sosial dan emosional dan keterampilan kehidupan yang penting dengan cara penuh hormat  dan membesarkan hati tidak hanya bagi murid tetapi juga bagi orang dewasa (termasuk orangtua, guru, staf administrasi dan lainnya). Tujuan akhir dari disiplin adalah agar murid memahami perilaku mereka sendiri, mengambil inisiatif, menjadi bertanggung jawab atas pilihan mereka, dan menghargai diri mereka sendiri dan orang lain. Menerapkan pendekatan disiplin positif dapat membantu sekolah memainkan peran penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi. Murid cenderung menjadikan orang dewasa sebagai model; jika  murid melihat orang dewasa menggunakan kekerasan fisik atau psikologis, mereka akan belajar bahwa kekerasan dapat diterima sehingga ada kemungkinan mereka akan menggunakan kekerasan terhadap orang lain. Sekolah memiliki peran penting dalam membimbing, memperbaiki, dan mensosialisasikan kepada  murid mengenai perilaku yang sesuai. Agar perubahan berhasil, diperlukan pendekatan terkoordinasi yang melibatkan semua peran di komunitas sekolah. Sekolah perlu bekerja dengan orangtua untuk memastikan konsistensi antara rumah dan sekolah, serta membekali mereka dengan informasi dan alat untuk mempraktekkan disiplin positif di rumah.
Upaya dalam membangun budaya positif di sekolah yang berpihak pada murid diawali dengan membentuk lingkungan kelas yang mendukung terciptanya budaya positif, yaitu dengan menyusun kesepakatan kelas. Kesepakatan kelas yang efektif dapat membantu dalam pembentukan budaya disiplin positif  di kelas. Hal ini juga dapat membantu proses belajar mengajar yang lebih mudah dan tidak menekan. Seringkali permasalahan dengan murid berkaitan dengan komunikasi antara murid dengan guru, terutama ketika murid melanggar suatu aturan dengan alasan tidak mengetahui adanya aturan tersebut. Kurang adanya komunikasi ini menyebabkan relasi murid dan guru menjadi kurang baik.
Kesepakatan kelas berisi beberapa aturan untuk membantu guru dan murid bekerja bersama membentuk kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kesepakatan kelas tidak hanya berisi harapan guru terhadap murid, tapi juga harapan murid terhadap guru. Kesepakatan disusun dan dikembangkan bersama-sama antara guru dan murid.
Dalam menyusun kesepakatan kelas, guru perlu mempertimbangkan hal yang penting dan hal yang bisa dikesampingkan. Murid dapat mengalami kesulitan dalam mengingat banyak informasi, jadi susunlah 4 - 8 aturan untuk setiap kelas. Jika berlebihan, murid akan merasa kesulitan dan tidak mendapatkan makna dari kesepakatan kelas tersebut. Kesepakatan harus disusun dengan jelas sehingga murid dapat memahami perilaku apa yang diharapkan dari mereka. 
Kesepakatan yang disusun sebaiknya mudah dipahami dan dapat langsung dilakukan. Oleh karena itu, dalam kesepakatan kelas gunakan kalimat positif seperti, “Saling menghormati” ,“Berjalan jika berada di lorong kelas”. Kalimat positif lebih mudah dipahami murid dibandingkan kalimat negatif yang mengandung kata seperti, “dilarang” atau “tidak”. 
Kesepakatan perlu dapat diperbaiki dan dikembangkan secara berkala, seperti setiap awal semester. Untuk mempermudah pemahaman murid, kesepakatan dapat ditulis, digambar, atau disusun sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dan disadari oleh murid. Strategi lain adalah dengan mencetaknya di setiap buku laporan kegiatan murid. Hal ini menjadi strategi yang baik untuk meningkatkan komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah.
Setelah mempelajari konsep mengenai sekolah sebagai institusi pembentukan karakter, sekolah sebagai institusi pembentuk karakter hendaknya melibatkan seluruh warga sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat. Selain itu, sekolah juga harus menetapkan karakter yang ingin dibentuk dalam kurikulum dan menjadikannya sebagai nilai yang dianut oleh seluruh warga sekolah. Eksplorasi terhadap konsep posisi kontrol guru membuat saya merasa senang karena dengan melihat kelima perilaku guru tersebut saya bisa mengetahui perilaku yang paling tepat dalam membentuk budaya positif di sekolah. Saya menyadari bahwa selama ini saya biasanya menganjurkan murid untuk membuat jadwal belajar di rumah. Hanya saja, anjuran itu masih berbentuk instruksi. Seharusnya mereka diajak bertukar pikiran terlebih dahulu sehingga mereka memahami pentingnya setiap tindakan yang mereka lakukan. Dengan demikian, mereka akan menjadikannya sebagai budaya positif karena merasa hal itu penting dan bermanfaat bagi dirinya.
Dari kelima posisi kontrol guru, posisi yang ingin saya perankan adalah posisi kontrol sebagai manajer karena posisi ini bisa membentuk dan mengembangkan budaya positif berdasarkan kesepakatan, sesuai harapan murid, dan dilakukan atas inisiatif sendiri sehingga muncul disiplin dan motivasi dari dalam diri murid tanpa merasa terpaksa. Untuk itu, saya akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 
  • mengajak murid untuk melihat permasalahan
  • bertanya dan meminta tanggapan murid terhadap solusi yang tepat atas masalah tersebut.
  • membuat kesepakatan dengan murid mengenai solusi atas masalah tersebut. 
  • menanyakan kepada murid mengenai harapan mereka terhadap penyelesaian masalah tersebut.
  • memfasilitasi murid untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Pemberian hukuman dan hadiah secara praktis mampu mengontrol pembentukan karakter murid. Akan tetapi, hanya bersifat jangka pendek dan hanya berlaku saat guru yang bersangkutan ada di kelas atau saat ada hadiah saja. Jadi, murid-muridnya hanya patuh karena takut dihukum atau karena mengharapkan hadiah semata. Kepatuhan mereka tidak didasarkan atas kesadaran dan keikhlasan. Mereka pun tidak mengetahui untuk apa mereka patuh dan apa konsekuensinya jika mereka tidak patuh selain daripada hukuman dan hadiah.
Sebaiknya guru dalam menyelesaikan masalah penerapan disiplin di kelasnya hendaknya mengawali dengan menyusun kesepakatan kelas. Kesepakatan kelas yang efektif dapat membantu dalam pembentukan budaya disiplin positif di kelas. Hal ini juga dapat membantu proses belajar mengajar yang lebih mudah dan tidak menekan. Hasil kesepakatan kelas dipasang di dinding kelas untuk mengingatkan murid setiap saat.
Lokakarya 2 yang dipandu oleh pendamping membahas mengenai komunitas praktisi. Kegiatan ini diawali dengan mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi terkait hubungan dengan murid, rekan sejawat, cara mengajar, dan hal non teknis lainnya. Selanjutnya masing-masing kelompok mendiskusikan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut. Ternyata setiap masalah yang ditempel di kertas plano memiliki solusi yang juga berasal dari peserta. Setelah membahas solusi setiap permasalahan, setiap peserta membuat karya berupa poster yang berisi tentang ide komunitas praktisi. Poster itu dibuat berdasarkan kreatifitas masing-masing peserta. Ada yang menggambarkan komunitas praktisi dalam bentuk kapal, rumah, kereta, pohon, dan lain sebagainya. Intinya dalam poster itu menunjukkan manfaat, tantangan, peluang, dan cara menggerakkan komunitas praktisi. CGP juga diberikan kesempatan menuliskan kelemahan dan kelebihan serta cara meningkatkan diri untuk menjalankan peran dalam menggerakkan komunitas praktisi. Terakhir CGP membuat rencana pengembangan komunitas praktisi yang dibagi menjadi 3 tahap yaitu tahap merintis, menumbuhkan, dan merawat keberlanjutan. Tahap merintis merupakan tahapan memulai sebuah komunitas praktisi. Adapun kegiatan pada tahap ini meliputi membangun percakapan awal, menemukan pengikut pertama, dan membangun percakapan bermakna. Pada tahap menumbuhkan, komunitas praktisi dapat menyebarluaskan pengetahuan dan praktik baik secara lebih luas. Kegiatan pada tahap menumbuhkan meliputi menyelenggarakan pertemuan rutin, mendorong dan mendampingi anggota komunitas menerapkan hasil belajar, mendokumentasikan dan membagikan hasil belajar. Tahap merawat keberlanjutan komunitas praktisi adalah tahap untuk memastikan proses baik yang sudah berjalan di dalam komunitas akan terus memberi dampak positif bagi anggota komunitas dan murid walaupun terjadi perubahan-perubahan situasi yang berkaitan dengan komunitas praktisi. Kegiatan pada tahap merawat keberlanjutan komunitas praktisi meliputi mengembangkan anggota menjadi penggerak komunitas praktisi, menginisiasi kolaborasi, dan menyelenggarakan proyek kegiatan murid.



Share:

Sunday, June 13, 2021

Catatan Akhir Pekan Guru Penggerak Part 7: Implementasi Inkuiri Aspiratif

Oleh: Jamaluddin Tahuddin 

Setelah melalui 3 pembelajaran sebelumnya, kami membuat refleksi individu 4P atas proses kolaborasi yang telah kami lakukan bersama anggota kelompok yang lain di Pembelajaran 3 dalam menyelesaikan tugas pembuatan pemetaan kekuatan dari setiap aset yang dimiliki. Dengan menggunakan poin-poin panduan (4P) yang disajikan di setiap halaman, kami berusaha menyusun refleksi secara individu. Adapun poin-poin panduan (4P) tersebut adalah sebagai berikut:

1)    Peristiwa: Peristiwa-peristiwa apa saja yang terjadi dalam diskusi?

2)    Perasaan: Perasaan apa yang muncul saat proses pembelajaran?

3)    Pembelajaran: Pembelajaran apa saja yang diperoleh melalui peta kekuatan?

4)    Perubahan: Jika saya ingin membuat perubahan dengan konsep inkuiri apresiatif;

a.    Apa saja yang perlu saya pelajari lebih lanjut?

b.    Apa saja strategi yang dilakukan untuk melaksanakan perubahan?

Dari pertanyaan pada poin-poin panduan di atas, saya mencoba merefleksikan kembali proses pembelajaran yang telah dilalui dan mengambil pembelajaran dari proses kolaborasi. Dimana pada pembelajaran sebelumnya, kami melakukan diskusi terkait pemetaan kekuatan yang dimiliki sekolah masing-masing sebagai pendukung terwujudnya visi guru Penggerak. Dalam diskusi tersebut membahas tentang pemetaan kekuatan yang mendukung terwujudnya visi guru Penggerak. Diskusi ini diikuti oleh 2 kelompok yang terdiri dari masing-masing 4 orang anggota. Masing-masing kelompok mempresentasikan aset yang dimiliki oleh sekolah tempat anggotanya mengajar yang bisa menjadi kekuatan dalam mewujudkan visi mereka sebagai guru penggerak. Fasilitator memandu di awal dan akhir diskusi, sementara jalannya diskusi pada saat presentasi oleh masing-masing kelompok dipandu oleh moderator yang ditunjuk oleh anggota dari masing-masing kelompok penyaji. Kemudian masing-masing kelompok menunjuk 1 orang penyaji yang mempresentasikan hasil diskusi mereka, sementara anggota kelompok lain menanggapi.

Pada saat proses pembelajaran, saya merasa lega karena kekurangan yang dimiliki oleh sekolah saya ternyata bisa menjadi kekuatan yang bisa mendukung terwujudnya visi saya selaku guru penggerak. Selain itu, saya juga merasa bahwa selama ini saya kurang bijak jika ingin melakukan sebuah perubahan baik pada diri sendiri maupun di sekolah. Selama ini saya lebih banyak memetakan kekurangan saja tanpa memperhatikan kelebihan yang dimiliki. Sehingga dengan mengetahui manajemen Inkuiri Apresiatif, saya merasa senang karena dengan manajemen ini saya bisa mengetahui hal-hal positif yang bisa dilakukan dengan menggunakan potensi positif yang dimiliki.

Pembelajaran yang diperoleh melalui peta kekuatan adalah sebagai berikut:

  • Kita akan senantiasa berpikiran positif dalam menyikapi setiap masalah terutama dalam merencanakan sebuah perubahan.
  • Dengan memetakan kekuatan, kita bisa membuat perencanaan yang lebih matang karena disesuaikan dengan kekuatan yang dimiliki.
  • Dengan adanya peta kekuatan, kita bisa mengetahui langkah yang tepat dalam melaksanakan perubahan sekaligus bisa mengetahui dengan siapa saja kita bisa bekerjasama mewujudkan visi kita.

Oleh karena itu, jika saya ingin membuat perubahan dengan konsep inkuiri apresiatif, maka saya akan mempelajari bentuk implementasi model BAGJA dalam manajemen perubahan yang mengadopsi konsep inkuiri apresiatif dalam pelaksanaannya. Adapun strategi yang akan saya lakukan untuk melaksanakan perubahan adalah dengan menerapkan model BAGJA seperti berikut:

  • Memulai dengan membuat daftar pertanyaan terkait perubahan yang akan dilakukan
  • Mengambil pelajaran dari praktik baik yang pernah dilakukan orang lain.
  • Membuat gambaran dari apa yang diimpikan termasuk di dalamnya gambaran keadaan setelah impian itu tercapai.
  • Membuat perencanaan dengan membuat capaian yang realistis dan target capaian berikutnya secara berkala, membuat time schedule, serta papan pengumuman untuk mengingatkan program yang akan dilaksanakan.
  • Menentukan orang-orang atau pihak yang akan dilibatkan kemudian menjalin komunikasi yang baik dengan mereka, serta membuat alur pelaksanaan dan SOP.

Sebagai latihan, pada kegiatan demonstrasi kontekstual kami berlatih menerapkan Inkuiri Apresiatif untuk mengidentifikasi potensi murid dan membuat strategi untuk menumbuhkannya. Selain itu, kami juga berlatih memberikan umpan balik secara terstruktur terhadap pekerjaan CGP yang lain. Pada bagian ini, kami ditantang untuk menjalankan model manajemen perubahan Inkuiri Apresiatif BAGJA secara nyata. Namun sebelumnya, kami menyimak terlebih dahulu paparan Jon Townsin seorang Psikolog Organisasi yang menjelaskan Inkuiri Aspiratif dalam video. Dari video tersebut diketahui bahwa menurut Townsin, Inkuiri Aspiratif sebagai filosofi dan proses untuk memanfaatkan kekuatan dan pengalaman semua orang yang berada dalam suatu sistem untuk mewujudkan yang diinginkan. Inkuiri apresiatif dapat menyuntikkan energi, harapan dan optimisme ketika kebutuhan untuk perubahan telah teridentifikasi. Salah satu contoh kebutuhan untuk perubahan adalah bagaimana merekomendasikan strategi pengenalan kekuatan dan potensi murid. Ini disebabkan karena selama ini perhatian guru lebih banyak tertuju pada murid yang secara akademik berprestasi atau malah lebih memfokuskan perhatian pada murid ‘bermasalah’ atau murid yang mengalami kesulitan untuk dididik. Namun, seringkali lupa bahwa mayoritas murid yang dimiliki adalah murid-murid yang tampak biasa saja. Murid-murid ini memiliki kemungkinan untuk kita abaikan karena tidak ada hal menonjol yang mereka miliki. Namun, perlu ada perubahan dalam memandang mereka dan mendidik mereka.

Oleh karena itu, kami diminta membuat rancangan tindakan perubahan berdasarkan tahapan B-A-G-J-A untuk mulai mengubah arah didikan dengan lebih adil dan berpihak pada murid, khususnya pada murid yang selama ini jarang diperhatikan. Kami diminta menemukan potensi dan kekuatan yang mereka miliki serta hal baru apa yang dapat dilakukan untuk menggali potensi mereka. Untuk itu saya mencoba menjalankan B-A-G-J-A tahap demi tahap dan berhasil merumuskan pertanyaan serta tindakan yang perlu dilakukan untuk mengenal kekuatan dan potensi murid. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:

PRAKARSA

PERUBAHAN

Strategi Pengenalan Kekuatan dan Potensi Murid

TAHAPAN

Pertanyaan

Daftar tindakan yang perlu dilakukan untuk menjawab pertanyaan

B-uat pertanyaan (Define)

·     Hal baik apa yang dapat ditemukan dari murid biasa dalam kegiatan belajar?

·     Apa yang menarik dari respon, aktivitas, dan hasil belajar murid biasa?

·     Mengamati aktivitas murid biasa baik pada saat belajar di kelas maupun di luar kelas.

·    Memperhatikan hasil belajar murid biasa.

A-mbil pelajaran (Discover)

·     Siapakah murid biasa yang pernah berprestasi?

·     Bagaimana cara dia mengatur waktu belajarnya?

·     Apa saja yang dia lakukan agar bisa berprestasi?

·     Hal baik apa yang telah aku lakukan selama ini yang mendukung usahanya untuk berprestasi?

·     Kemampuan apa yang saya miliki yang dapat membantunya berprestasi?

·    Mencari profil murid biasa yang pernah berprestasi

·    Mencari tahu dan mencatat bagaimana dia mengatur waktu belajarnya dan kegiatannya.

G-ali mimpi (Dream)

·     Apakah kebiasaan-kebiasaan baru yang saya lakukan tetap dilakukan setelah murid berprestasi?

·     Bagaimana perasaan saya jika berhasil menjadikan murid biasa berprestasi?

·     Apa saja hal-hal baru yang bisa kulakukan setelah berhasil menjadikan murid biasa berprestasi?

·     Hal-hal apa yang mendukung murid biasa bisa berprestasi?

·     Membuat gambar diri dengan murid biasa yang berprestasi.

·     Memajangnya di kamar dan mengingatnya selama saya melakukan usaha-usaha selanjutnya.

J-abarkan rencana (Design)

·     Berapa lama target untuk menjadikan murid biasa berprestasi?

·     Apa tindakan-tindakan yang bisa mendukung murid biasa berprestasi?

·     Bagaimana mengukur kemajuan dan menentukan langkah selanjutnya

·     Bagaimana cara agar murid biasa saling menyemangati untuk bisa berprestasi?

·     Apa langkah paling sederhana/ langkah pertama yang bisa dilakukan?

·    Membuat capaian yang realistis untuk setiap minggunya

·    Membuat catatan besar target yang akan dicapai per minggu dan memajangnya di kaca lemari

·    Membuat time schedule

·    Memasang papan pengumuman untuk mengingatkan program yang akan dilaksanakan.

·    Meminta istri dan teman sejawat untuk mengingatkan program yang akan dilaksanakan.

A-tur eksekusi (Deliver)

·     Siapa saja yang akan saya libatkan dalam mewujudkan rencana ini? Berperan sebagai apa saja?

·     Kapan usaha menggali potensi murid biasa akan mulai dilakukan?

·     Siapa yang bisa mengarahkan dan memantau kegiatan yang saya lakukan?

·     Bagaimana pencatatan kemajuan dari kegiatan yang saya lakukan?

·     Siapa yang akan menampung curhatan tentang kesulitan-kesulitan menggali potensi murid biasa?

·    Mengajak guru lain yang memiliki keinginan yang sama

·    Aktif mengikuti kegiatan MGMP

·    Lebih sering berinteraksi dengan murid biasa

·    Menjalin komunikasi dengan orang tua murid terkait kegiatan anak di rumah.

Setelah mencoba menerapkan pendekatan Inkuiri Aspiratif melalui tahapan BAGJA, kegiatan selanjutnya adalah elaborasi pemahaman yang dilakukan secara tatap maya selama 2 JP Bersama instruktur Bapak Robertus Saliman. Dalam pemaparannya, selain mempertajam kembali mengenai pemahaman terhadap filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan paradigma perubahan Inkuiri Aspiratif melalui manajemen BAGJA, Pak Robert juga menjelaskan bahwa ada tiga peran yang bisa dimainkan dalam melakukan perubahan. Peran itu adalah perhatian, kepedulian, dan pengaruh. Sebagai pendidik, peran yang paling memungkinkan bagi seorang guru Penggerak dalam melakukan perubahan adalah dengan menggunakan pengaruhnya. Selain itu, beliau juga berbagi praktik baik penerapan wiraga wiraga-wirama wirama di Sanggar Anak Alam Yogyakarta sebagai implementasi dari filosofi Pendidikan KHD. Pendidikan di Sanggar Anak Alam Yogyakarta mengikuti kodrat tumbuh kembang anak berdasarkan filosofi Pendidikan KHD.

Dari kegiatan elaborasi pemahaman tersebut, saya bisa menghubungkan visi CGP dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara serta pendekatan inkuiri apresiatif. Dalam memainkan peran sebagai pendidik dan guru penggerak, seorang guru penggerak tentunya memiliki impian atau harapan yang ingin digapai di masa yang akan datang. Impian atau harapan itu hendaknya diejawantahkan dalam sebuah visi yang menjadi panduan bagi seorang guru untuk mencapai tujuan. Visi tersebut menjadi panduan bagi guru dalam menentukan strategi pembelajaran. Selain itu, seorang guru juga bisa lebih memahami pentingnya sebuah visi dan visi seperti apa yang dimilikinya. Visi seorang guru hendaknya berpihak pada murid karena sasaran pekerjaannya adalah murid. Keberhasilan seorang guru baru dapat terlihat setelah sang murid tumbuh menjadi orang dewasa dan hidup di tengah masyarakat.

Visi juga membuat diri termotivasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran serta menguatkan kolaborasi di lingkungan sekolah sehingga terjadi upaya perbaikan dan perubahan yang berkesinambungan terutama perubahan budaya sekolah. Perlu pelibatan semua warga sekolah karena budaya sekolah terkait dengan sikap, perbuatan, dan segala bentuk kegiatan yang dilakukan warga sekolah. Untuk dapat mewujudkan visi sekolah dan melakukan proses perubahan, maka perlu sebuah pendekatan atau paradigma. Pendekatan ini dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan. Jika diibaratkan seperti seorang pelari yang memiliki tujuan mencapai garis “finish”, maka ia butuh peralatan yang mendukung selama berlatih seperti alat olahraga. Salah satu pendekatan atau paradigma yang bisa digunakan adalah pendekatan Inkuiri Apresiatif (IA). IA dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. Konsep IA ini pertama kali dikembangkan oleh David Cooperrider (Noble & McGrath, 2016).

Cooperrider menyatakan bahwa pendekatan IA dapat membantu membebaskan potensi inovatif dan kreativitas, serta menyatukan orang dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh proses manajemen perubahan yang biasa. Manajemen perubahan yang biasa dilakukan lebih menitikberatkan pada masalah apa yang terjadi dan apa yang salah dari proses tersebut untuk diperbaiki. Hal ini berbeda dengan IA yang berusaha fokus pada kekuatan yang dimiliki setiap anggota dan menyatukannya untuk menghasilkan kekuatan tertinggi.

IA menggunakan prinsip-prinsip utama psikologi positif dan pendidikan positif. Pendekatan IA percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat memberikan kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan potensi dan aset organisasi. Dengan demikian, dalam implementasinya, IA dimulai dengan menggali hal-hal positif, keberhasilan yang telah dicapai dan kekuatan yang dimiliki organisasi, sebelum organisasi menapak pada tahap selanjutnya dalam melakukan perencanaan perubahan.

Menurut Cooperrider, saat ini kita hidup pada zaman yang membutuhkan mata yang dapat melihat dan mengungkap hal yang benar dan baik. Mata yang mampu membukakan kemungkinan perbaikan dan memberikan penghargaan. Bila organisasi lebih banyak membangun sisi positif yang dimilikinya, maka kekuatan sumber daya manusia dalam organisasi tersebut dipastikan akan meningkat dan kemudian organisasi akan berkembang secara berkelanjutan.

Di sekolah, pendekatan IA dapat dimulai dengan mengidentifikasi hal baik apa yang telah ada di sekolah, mencari cara bagaimana hal tersebut dapat dipertahankan, dan memunculkan strategi untuk mewujudkan perubahan ke arah lebih baik. Nantinya, kelemahan, kekurangan, dan ketiadaan menjadi tidak relevan. Berpijak dari hal positif yang telah ada, sekolah kemudian menyelaraskan kekuatan tersebut dengan visi sekolah dan visi setiap warga sekolah.

 

 

 

 

Share:

Friday, June 11, 2021

Nilai dan Peran Guru Penggerak dalam Kaitannya dengan Filosofi Ki Hajar Dewantara untuk Mewujudkan Profil Pelajar Pancasila melalui Pendekatan Inkuiri Aspiratif dengan manajemen BAGJA

Oleh: Jamaluddin Tahuddin (SMPN 28 Makassar)

Seorang guru penggerak hendaknya memiliki nilai-nilai guru penggerak dalam jiwanya. Nilai-nilai itu adalah mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada murid. Kelima nilai tersebut penting dimiliki oleh setiap guru penggerak karena jika guru penggerak memiliki nilai mandiri, maka ia akan lebih leluasa berkembang karena tidak perlu lagi bergantung pada orang lain. Reflektif membantu dirinya memperbaiki kekurangan dan meningkatkan kelebihan yang dimiliki sehingga ia akan selalu tampil sebagai guru yang ideal. Dengan nilai kolaborasi, pekerjaan guru penggerak, menjadi lebih mudah dan ringan karena semuanya dilakukan secara kolaboratif dengan semua pihak. Inovatif mendorong terciptanya pembaruan sehingga guru akan senantiasa melahirkan ide dan gagasan yang baru dalam mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada murid. Segala tindakan dan kebijakan yang berpihak pada murid tentunya akan membuat murid senang dan termotivasi belajar sehingga akan mendorong terwujudnya profil pelajar Pancasila. Nilai-nilai tersebut diharapkan menjadi kebiasaan dalam berperilaku sehingga melekat menjadi karakter dari setiap guru penggerak. Nilai guru penggerak sangat mempengaruhi guru penggerak dalam memainkan perannya.

Adapun peran guru penggerak adalah sebagai berikut:

  1. Menjadi pemimpin pembelajaran melalui praktik pembelajaran yang berpihak pada murid. Pembelajaran dengan pola belajar kelompok (berbasis tim) dan mengembangkan pembelajaran dalam upaya pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik. Pembelajaran berbasis multimedia dengan media audio visual. Pembelajaran secara jejaring, yakni menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta diperoleh melalui internet. Pembelajaran yang interaktif dengan melibatkan guru, peserta didik, masyarakat, lingkungan alam, dan sumber/ media lainnya.
  2. Menggerakkan komunitas praktisi seperti MGMP untuk berkontribusi aktif dalam mewujudkan merdeka belajar. Melalui MGMP bisa terjalin kerjasama secara kolaboratif antar guru mata pelajaran, guru bisa meningkatkan kompetensi melalui pelatihan dan workshop di MGMP, serta saling berbagi praktik yang baik terkait pembelajaran di kelas.
  3. Guru penggerak menjadi coach bagi guru lain, misalnya dengan membimbing guru lain dalam pengolahan nilai melalui excel, pembuatan kelas online, pembuatan media pembelajaran berbasis multimedia, dan sebagainya.
  4. Menjalin kerjasama dengan guru lain, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat sekitar dalam mencapai profil pelajar Pancasila.
  5. Membantu murid untuk mandiri dalam belajar, memunculkan motivasi untuk belajar, dan mendidik karakter murid di sekolah.

Nilai dan peran guru penggerak selaras dengan filosofi Ki Hajar Dewantara. Nilai mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada murid yang menjiwai guru penggerak dalam memainkan perannya tentunya akan menghadirkan guru yang sesuai dengan filosofi Ki Hajar Dewantara. Guru yang memahami bahwa jika mereka menanam padi, tidak akan mungkin tumbuh jagung begitupun sebaliknya. Dengan kata lain, mereka akan memahami bahwa pendidikan sangat dipengaruhi oleh perlakuan mereka terhadap murid. Segala tindakan dan kebijakan guru penggerak akan senantiasa menghamba pada anak. Mereka akan memperlakukan anak sesuai kodratnya, baik itu kodrat alam maupun zamannya dan tentu saja kodrat anak adalah bermain. Dengan demikian, seorang guru penggerak tentunya akan senantiasa mendidik anak agar menjadi manusia yang baik lakunya, selaras budi dan pekertinya.

Dalam memainkan peran sebagai pendidik dan guru penggerak, seorang guru penggerak tentunya memiliki impian atau harapan yang ingin digapai di masa yang akan datang. Impian atau harapan itu hendaknya diejawantahkan dalam sebuah visi yang menjadi panduan bagi seorang guru untuk mencapai tujuan. Visi tersebut menjadi panduan bagi guru dalam menentukan strategi pembelajaran. Selain itu, seorang guru juga bisa lebih memahami pentingnya sebuah visi dan visi seperti apa yang dimilikinya. Visi seorang guru hendaknya berpihak pada murid karena sasaran pekerjaannya adalah murid. Keberhasilan seorang guru baru dapat terlihat setelah sang murid tumbuh menjadi orang dewasa dan hidup di tengah masyarakat.

Visi juga membuat diri termotivasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran serta menguatkan kolaborasi di lingkungan sekolah sehingga terjadi upaya perbaikan dan perubahan yang berkesinambungan terutama perubahan budaya sekolah. Perlu pelibatan semua warga sekolah karena budaya sekolah terkait dengan sikap, perbuatan, dan segala bentuk kegiatan yang dilakukan warga sekolah. Untuk dapat mewujudkan visi sekolah dan melakukan proses perubahan, maka perlu sebuah pendekatan atau paradigma. Pendekatan ini dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan. Jika diibaratkan seperti seorang pelari yang memiliki tujuan mencapai garis “finish”, maka ia butuh peralatan yang mendukung selama berlatih seperti alat olahraga. Salah satu pendekatan atau paradigma yang bisa digunakan adalah pendekatan Inkuiri Apresiatif (IA). IA dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. Konsep IA ini pertama kali dikembangkan oleh David Cooperrider (Noble & McGrath, 2016).

Cooperrider menyatakan bahwa pendekatan IA dapat membantu membebaskan potensi inovatif dan kreativitas, serta menyatukan orang dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh proses manajemen perubahan yang biasa. Manajemen perubahan yang biasa dilakukan lebih menitikberatkan pada masalah apa yang terjadi dan apa yang salah dari proses tersebut untuk diperbaiki. Hal ini berbeda dengan IA yang berusaha fokus pada kekuatan yang dimiliki setiap anggota dan menyatukannya untuk menghasilkan kekuatan tertinggi.

IA menggunakan prinsip-prinsip utama psikologi positif dan pendidikan positif. Pendekatan IA percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat memberikan kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan potensi dan aset organisasi. Dengan demikian, dalam implementasinya, IA dimulai dengan menggali hal-hal positif, keberhasilan yang telah dicapai dan kekuatan yang dimiliki organisasi, sebelum organisasi menapak pada tahap selanjutnya dalam melakukan perencanaan perubahan.

Menurut Cooperrider, saat ini kita hidup pada zaman yang membutuhkan mata yang dapat melihat dan mengungkap hal yang benar dan baik. Mata yang mampu membukakan kemungkinan perbaikan dan memberikan penghargaan. Bila organisasi lebih banyak membangun sisi positif yang dimilikinya, maka kekuatan sumber daya manusia dalam organisasi tersebut dipastikan akan meningkat dan kemudian organisasi akan berkembang secara berkelanjutan.

Di sekolah, pendekatan IA dapat dimulai dengan mengidentifikasi hal baik apa yang telah ada di sekolah, mencari cara bagaimana hal tersebut dapat dipertahankan, dan memunculkan strategi untuk mewujudkan perubahan ke arah lebih baik. Nantinya, kelemahan, kekurangan, dan ketiadaan menjadi tidak relevan. Berpijak dari hal positif yang telah ada, sekolah kemudian menyelaraskan kekuatan tersebut dengan visi sekolah dan visi setiap warga sekolah.

Salah satu manajemen perubahan yang menerapkan pendekatan IA adalah BAGJA. BAGJA merupakan singkatan dari Buat Pertanyaan, Ambil Pelajaran, Gali Mimpi, Jabarkan Rencana, Atur Eksekusi. Ini merupakan implementasi dari Define, Discover, Dream, Design, Deliver pada pendekatan IA.

Visi saya sebagai pendidik dan guru penggerak adalah sebagai berikut:

Oleh karena itu, saya mesti memetakan kekuatan dan potensi positif yang dimiliki oleh sekolah dalam mendukung terwujudnya visi tersebut. Selanjutnya membuat rancangan tindakan perubahan berdasarkan tahapan B-A-G-J-A sebagai berikut:

PRAKARSA

PERUBAHAN

Strategi Pengenalan Kekuatan dan Potensi Murid

TAHAPAN

Pertanyaan

Daftar tindakan yang perlu dilakukan untuk menjawab pertanyaan

B-uat pertanyaan (Define)

·     Hal baik apa yang dapat ditemukan dari murid biasa dalam kegiatan belajar?

·     Apa yang menarik dari respon, aktivitas, dan hasil belajar murid biasa?

·     Mengamati aktivitas murid biasa baik pada saat belajar di kelas maupun di luar kelas.

·    Memperhatikan hasil belajar murid biasa.

A-mbil pelajaran (Discover)

·     Siapakah murid biasa yang pernah berprestasi?

·     Bagaimana cara dia mengatur waktu belajarnya?

·     Apa saja yang dia lakukan agar bisa berprestasi?

·     Hal baik apa yang telah aku lakukan selama ini yang mendukung usahanya untuk berprestasi?

·     Kemampuan apa yang saya miliki yang dapat membantunya berprestasi?

·    Mencari profil murid biasa yang pernah berprestasi

·    Mencari tahu dan mencatat bagaimana dia mengatur waktu belajarnya dan kegiatannya.

G-ali mimpi (Dream)

·     Apakah kebiasaan-kebiasaan baru yang saya lakukan tetap dilakukan setelah murid berprestasi?

·     Bagaimana perasaan saya jika berhasil menjadikan murid biasa berprestasi?

·     Apa saja hal-hal baru yang bisa kulakukan setelah berhasil menjadikan murid biasa berprestasi?

·     Hal-hal apa yang mendukung murid biasa bisa berprestasi?

·     Membuat gambar diri dengan murid biasa yang berprestasi.

·     Memajangnya di kamar dan mengingatnya selama saya melakukan usaha-usaha selanjutnya.

J-abarkan rencana (Design)

·     Berapa lama target untuk menjadikan murid biasa berprestasi?

·     Apa tindakan-tindakan yang bisa mendukung murid biasa berprestasi?

·     Bagaimana mengukur kemajuan dan menentukan langkah selanjutnya

·     Bagaimana cara agar murid biasa saling menyemangati untuk bisa berprestasi?

·     Apa langkah paling sederhana/ langkah pertama yang bisa dilakukan?

·    Membuat capaian yang realistis untuk setiap minggunya

·    Membuat catatan besar target yang akan dicapai per minggu dan memajangnya di kaca lemari

·    Membuat time schedule

·    Memasang papan pengumuman untuk mengingatkan program yang akan dilaksanakan.

·    Meminta istri dan teman sejawat untuk mengingatkan program yang akan dilaksanakan.

A-tur eksekusi (Deliver)

·     Siapa saja yang akan saya libatkan dalam mewujudkan rencana ini? Berperan sebagai apa saja?

·     Kapan usaha menggali potensi murid biasa akan mulai dilakukan?

·     Siapa yang bisa mengarahkan dan memantau kegiatan yang saya lakukan?

·     Bagaimana pencatatan kemajuan dari kegiatan yang saya lakukan?

·     Siapa yang akan menampung curhatan tentang kesulitan-kesulitan menggali potensi murid biasa?

·    Mengajak guru lain yang memiliki keinginan yang sama

·    Aktif mengikuti kegiatan MGMP

·    Lebih sering berinteraksi dengan murid biasa

·    Menjalin komunikasi dengan orang tua murid terkait kegiatan anak di rumah.

 

 

 

Share:

Komentar Terbaru

Translate

Followers

Guru Itung. Powered by Blogger.

Contact Form

Name

Email *

Message *