Oleh: Jamaluddin Tahuddin
Setelah menyimak video mengenai coaching model TIRTA, saya dapat menyimpulkan bahwa:
- Dalam membantu coachee mengenali situasi permasalahan yang dihadapi coachee, coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dan menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee.
- Dalam memberi respon terhadap permasalahan yang dihadapi coachee, coach berusaha untuk terus menggali potensi coachee yang dapat digunakan dalam menyelesaikan permasalahannya. Coach juga berusaha untuk terus memberi motivasi kepada coachee dengan memberikan respon positif terhadap setiap jawaban yang diberikan oleh coachee
- Praktik coaching model TIRTA pada dasarnya dapat dipraktikkan dalam sistuasi dan konteks lokal kelas dan sekolah. Hanya saja tentu bukanlah hal yang mudah untuk melakukannya karena butuh rasa percaya diri dan keterbukaan dari murid untuk mengungkapkan permasalahan mereka. Sehingga perlu menumbuhkan rasa aman dan nyaman bagi murid agar mereka merasa percaya diri dan terbuka dalam mengungkapkan permasalahan yang mereka hadapi.
- Yang dapat membantu melatih praktik coaching model TIRTA di kelas dan sekolah adalah rekan guru, orang tua murid, dan murid itu sendiri. Rekan guru dan orang tua juga perlu mengetahui dan mempraktekkan coaching model TIRTA baik di sekolah maupun di rumah. Sehingga murid merasa tidak sendiri baik di sekolah maupun di rumah. Sedangkan murid perlu memiliki rasa percaya diri dan keterbukaan dalam menyelesaikan masalah yang ia hadapi.
Pada sesi kolaborasi, kami melakukan praktik coaching dengan menggunakan model TIRTA. Kami mempraktikkan ketiga kasus yang ada di LMS. Pada kasus 1, seorang murid tidak mau bekerja sama dengan teman-temannya. Dia selalu memiliki alasan, seperti tidak cocok dengan teman-temannya atau dengan alasan lain. Dia memilih bekerja sendiri dan mengumpulkan tugasnya sendiri. Hasil yang dikumpulkan secara mandiri itu selalu bagus. Pada kasus 2, Seorang murid bercerita jika dia merasa diperlakukan tidak adil oleh seorang guru. Guru tersebut membuka les privat, dan sebagian besar murid di kelas mengikuti les privat tersebut, kecuali murid tersebut. Murid tersebut merasa tidak nyaman ketika guru sering menyindir murid yang tidak mau ikut les privatnya. Bahkan, murid tersebut juga merasa bahwa nilai yang diberikan pun tidak adil, para murid yang mengikuti les guru tersebut mendapatkan nilai yang lebih baik dari murid tersebut. Pada kasus 3, rekan Anda bercerita jika dia baru saja mendapatkan teguran dari kepala sekolah yang menerima laporan dari pengawas sekolah yang melakukan supervisi saat ia mengajar. Pengawas sekolah yang melakukan supervisi tampak keberatan ketika rekan Anda mengajar tanpa buku teks. Rekan Anda mengajar dengan memanfaatkan sumber-sumber belajar lainnya. Ketika diingatkan pengawas tersebut, rekan Anda menyampaikan jika ia tetap mengacu pada kurikulum walaupun tidak menggunakan buku teks. Pengawas tersebut tampaknya tersinggung dan memberikan laporan tentang hal itu kepada kepala sekolah.
Kelompok terdiri dari tiga (3) calon guru Penggerak, satu orang akan berperan sebagai coach, satu orang lainnya berperan sebagai coachee, dan satu orang lainnya berperan sebagai pengamat yang mengobservasi proses praktek coaching model TIRTA dengan menggunakan lembar pengamatan. Peran dilakukan secara bergantian di setiap kasus (disediakan 3 kasus). Di setiap akhir praktek coaching di satu kasus, pengamat menyampaikan hasil pengamatannya.
Sebelum mempelajari modul ini, saya pikir bahwa coaching itu seperti membimbing atau melatih orang lain seperti layaknya pada pelatihan atau workshop. Saya juga merasa bahwa coaching itu tidak terlalu penting dipelajari karena cukup menguasai ilmu komunikasi saja. Tapi, setelah mempelajari modul ini, saya pikir bahwa coaching adalah mengarahkan orang lain untuk memecahkan masalahnya dengan menggali potensi yang dimiliki orang tersebut. Jadi, ternyata coaching itu tidak bersifat menggurui seperti yang saya pikir sebelumnya. Saya juga merasa bahwa coaching itu sangat penting dipelajari dan dipraktikkan karena menguasai ilmu komunikasi tidaklah cukup untuk melakukan coaching. Selain dengan komunikasi yang baik, coaching juga membutuhkan strategi tertentu untuk bisa membantu orang lain menggali potensinya untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapinya. Dari empat kelompok kompetensi dasar seorang coach, saya merasa bahwa kekuatan saya ada pada kompetensi keterampilan berkomunikasi karena saya bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang lain. Dari teknik coaching yang saya pelajari, teknik yang perlu saya kembangkan dan latih adalah teknik mengidentifikasi masalah. Karena kendala yang mungkin dihadapi ketika melakukan coaching adalah saat berupaya melakukan sesi coaching dengan murid di sekolah, murid masih tidak percaya diri dan tidak memiliki keterbukaan dalam menyampaikan pendapat. Sehingga butuh teknik tersendiri agar dapat mengidentifikasi masalah maupun potensi yang dimiliki murid. Kendala yang dihadapi ketika melakukan praktik coaching dalam komunitas praktisi adalah beberapa teman memiliki sifat sensitif dan mudah tersinggung. Sehingga harus sangat berhati-hati ketika ingin berkomunikasi dengannya terutama untuk membahas hal-hal yang terkait dengan masalah yang dihadapinya. Kita bisa saja dicap sebagai orang yang gila urusan dan lain sebagainya. Upaya yang saya lakukan dalam menghadapi kendala tersebut adalah Saya mencoba membuka pembicaraan dengan hal-hal lain terlebih dahulu. Misal dengan menanyakan kabarnya, kemudian membahas topik yang berhubungan dengan kegemarannya hingga membahas masalah yang dihadapinya
0 comments:
Post a Comment