Pendidikan dan pengajaran merupakan dua sisi yang tak terpisahkan. Sekalipun dalam kenyataannya, pendidikan kadang terlupakan. Target kurikulum yang segudang terkadang memaksa guru untuk hanya fokus pada pencapaian target kurikulum semata. Guru hanya berusaha menyelesaikan materi yang tersusun rapi dalam silabus dan tertulis rinci dalam RPP. Sehingga pembelajaran menjadi kaya akan Transfer of Knowledge, tetapi miskin akan Transfer of Value. Akhirnya peserta didik berlomba memacu diri untuk mencapai nilai ketuntasan minimal yang tertuang dalam buku analisis KKM sang guru bak kitab suci yang tak tergugat lagi. Kompetisi antar peserta didik pun tak terelakkan, mereka saling berlomba untuk menjadi yang terbaik dengan mendapatkan nilai yang setinggi-tingginya. Mereka tak lagi merasakan kebahagiaan dalam belajar karena selalu dihantui perasaaan takut. Takut dengan nilai rendah, takut tinggal kelas ataupun takut tidak lulus. Sifat individual pun bermunculan, semangat kerjasama mulai memudar, dan akhirnya timbul keinginan untuk pintar sendiri ataupun berhasil sendiri.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara membuka ruang berpikir serta mengetuk pintu hati setiap guru untuk senantiasa mensinergikan antara pendidikan dan pengajaran. Pendidikan sangat berperan dalam proses transfer of value, sedangkan pengajaran berperan dalam proses transfer of knowledge. Penanaman nilai-nilai budi pekerti yang luhur dapat terwujud melalui pendidikan dengan mengutamakan fungsi guru sebagai model atau figur keteladanan. Peserta didik dituntun sesuai kodratnya masing-masing agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak. Pendidikan harus membuat siswa berdaya dan mampu memberdayakan orang lain. Sehingga siswa mampu mandiri dan tidak tergantung orang lain. Dalam hal ini, guru dituntut agar bisa menciptakan sebuah lingkungan belajar yang baik. Untuk itu, guru harus menata, mengolah, memelihara lingkungan belajar agar layak untuk digunakan belajar. Lingkungan belajar yang baik tidak lepas dari peran serta warga sekolah. Mereka harus terlibat dalam mewujudkan lingkungan belajar yang layak bagi tumbuh kembangnya anak sesuai kodratnya. Dalam hal ini, guru hendaknya hadir di tengah-tengah warga sekolah dengan mengemban tiga konsep kepemimpinan Ki Hajar Dewantara. Guru hendaknya bisa memberikan teladan, mampu berkerja sama dan memotivasi warga sekolah, serta memberikan dorongan moral kepada mereka.
Pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru hendaknya berpusat pada siswa. Siswa hendaknya terlibat bukan hanya pada saat pelaksanaan pembelajaran, melainkan juga dilibatkan pada saat perencanaan pembelajaran. Hal ini dilakukan agar pembelajaran betul-betul bisa terlaksana sesuai kodrat anak. Tidak hanya itu, pembelajaran yang dilakukan guru hendaknya bisa menuntun mereka dalam mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia, maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, permainan bisa menjadi salah satu bagian dalam pembelajaran karena bermain adalah kodrat anak. Permainan dapat membangkitkan pikiran, perasaan, kemauan, dan tenaga (Cipta, Karsa, Karya, dan Pekerti) yang sudah ada pada diri anak. Dengan demikian, siswa bisa belajar dengan penuh kebahagiaan tanpa ada rasa takut maupun merasa tertekan.
Langkah konkret yang bisa dilakukan oleh seorang guru dalam mewujudkan “Merdeka Belajar” adalah sebagai berikut:
- Mengubah pembelajaran satu arah yang hanya melibatkan guru dan peserta didik menjadi pembelajaran yang interaktif dengan melibatkan guru, peserta didik, masyarakat, lingkungan alam, dan sumber/ media lainnya.
- Mengubah pembelajaran yang terkesan tertutup dan terisolasi oleh dinding-dinding kelas yang kaku lagi pengap menjadi pembelajaran secara jejaring, yakni menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta diperoleh melalui internet.
- Mengubah pembelajaran yang masih mengandalkan spidol dan papan tulis saja menjadi pembelajaran berbasis multimedia.
- Mengubah pembelajaran pasif yang hanya memungkinkan siswa untuk datang, duduk, diam, dengar lalu pulang menjadi pembelajaran kritis melalui pembelajaran berbasis HOTS (Higher Order Thinking Skill) serta pembelajaran aktif yang memungkinkan siswa aktif mencari melalui pendekatan saintifik.
- Mengubah pembelajaran dengan pola belajar sendiri menjadi pola belajar kelompok (berbasis tim).
- Mengembangkan pembelajaran dalam upaya pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik.
- Mengubah pembelajaran yang hanya melibatkan satu disiplin ilmu saja (monodiscipline) menjadi pembelajaran yang bisa melibatkan banyak disiplin ilmu (multidisciplines).
0 comments:
Post a Comment