Kunjungi Channel YouTube kami di "Guru Itung" Channel

Halaman

Monday, May 3, 2021

Catatan Akhir Pekan Guru Penggerak Part 3: Nilai dan Peran Guru Penggerak

Oleh: Jamaluddin Tahuddin

Minggu ini kami diberi kesempatan untuk mendengarkan langsung paparan konsep Filosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara oleh Ki Prijo Dwiarsa dari Persatuan Perguruan Taman siswa melalui video converence. Selain itu, ada juga Ibu Min Hermina, M.Pd dari SMPN 1 Cikampek yang berbagi praktik baiknya terkait penerapan Merdeka Belajar di sekolahnya. Dalam pemaparan mereka, Ki Prijo lebih pada konsep pemikiran Ki Hajar Dewantara, sedangkan Ibu Min Hermina pada penerapannya di sekolah. Dalam hal ini Ibu Min Hermina memaparkan keberhasilannya dalam membuat gerakan gemar membaca dan menulis di sekolahnya melalui program CIBAKU SACI MASAGI (Cinta Baca Buku, Satu Cikampek, Maca Sareng Babagi) dan MIKREMES (Mikroblog Kreatif Menyenangkan & Sesuai). Selain itu, ia juga telah berhasil menjalin Kerjasama dengan Australia dalam program WJLRC (West Java Leader’s Reading Challenge).


Pemaparan Ki Prijo dan Ibu Min Hermina sangat menginspirasi dan memotivasi untuk menerapkan pemikiran Ki Hajar Dewantara di sekolah. Perpaduan kedua paparan ini sangat tepat dalam memahami konsep pemikiran KHD. Dari keduanya, pikiran bisa terbuka untuk lebih memahami konsep pemikiran KHD karena kita tidak hanya mengetahui konsep saja melainkan juga mengetahui bentuk penerapannya di sekolah.

Pemaparan keduanya sangat membantu kita mengetahui bagaimana bentuk penerapan pemikiran Ki Hadjar Dewantara di kelas dan sekolah. Konsep pemikiran KHD dapat diterapkan di sekolah sebagai solusi atas masalah yang dihadapi di sekolah. Sebagai contoh, Ibu Min Hermina telah berhasil mengatasi kurangnya minat baca dan menulis siswa di sekolahnya dengan konsep Merdeka Belajar. 

Setelah itu, kami diberi kesempatan untuk meninjau ulang keseluruhan materi dari Pembelajaran 1 hingga Pembelajaran 6 dan memperkuat koneksi antar materi yang sudah dipelajari. Sebagai pedoman dalam melakukan koneksi antar materi, pemaparan itu setidaknya memuat tiga poin yaitu pemahaman awal mengenai pembelajaran di kelas sebelum mempelajari modul, perubahan pada pemikiran atau perilaku setelah mempelajari modul, dan apa yang bisa segera diterapkan di kelas agar kelas mencerminkan pemikiran KHD.

Penugasan membuat koneksi antar materi menurut saya sangat menarik karena dengan meninjau ulang seluruh materi yang telah dipelajari, kita bisa mengingat dan mengkoneksikan antar materi yang telah dipelajari. Selain itu, kita juga bisa mengetahui seberapa besar pengetahuan yang didapatkan setelah menghubungkan pemahaman awal dengan materi yang telah dipelajari. Lebih menariknya lagi karena kita tidak digiring hanya sebatas beropini saja, melainkan sudah harus merencanakan atau setidaknya memikirkan implementasi dari konsep yang telah dipelajari.  

Setelah meninjau ulang keseluruhan materi dan memperkuat koneksi antar materi yang sudah dipelajari, diperoleh banyak sekali konsep pemikiran KHD yang dapat diadopsi ke dalam pembelajaran. Di antaranya, peserta didik dituntun sesuai kodratnya masing-masing agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak. Pendidikan harus membuat siswa berdaya dan mampu memberdayakan orang lain. Sehingga siswa mampu mandiri dan tidak tergantung orang lain. Dalam hal ini, guru dituntut agar bisa menciptakan sebuah lingkungan belajar yang baik. Untuk itu, guru harus menata, mengolah, memelihara lingkungan belajar agar layak untuk digunakan belajar. Lingkungan belajar yang baik tidak lepas dari peran serta warga sekolah. Mereka harus terlibat dalam mewujudkan lingkungan belajar yang layak bagi tumbuh kembangnya anak sesuai kodratnya. Dalam hal ini, guru hendaknya hadir di tengah-tengah warga sekolah dengan mengemban tiga konsep kepemimpinan Ki Hajar Dewantara. Guru hendaknya bisa memberikan teladan,  mampu berkerja sama dan memotivasi warga sekolah, serta memberikan dorongan moral kepada mereka.

Pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru hendaknya berpusat pada siswa. Siswa hendaknya terlibat bukan hanya pada saat pelaksanaan pembelajaran, melainkan juga dilibatkan pada saat perencanaan pembelajaran. Hal ini dilakukan agar pembelajaran betul-betul bisa terlaksana sesuai kodrat anak. Tidak hanya itu, pembelajaran yang dilakukan guru hendaknya bisa menuntun mereka dalam mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia, maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, permainan bisa menjadi salah satu bagian dalam pembelajaran karena bermain adalah kodrat anak. Permainan dapat membangkitkan pikiran, perasaan, kemauan, dan tenaga (Cipta, Karsa, Karya, dan Pekerti) yang sudah ada pada diri anak. Dengan demikian, siswa bisa belajar dengan penuh kebahagiaan tanpa ada rasa takut maupun merasa tertekan.

Seyogianya setelah meninjau ulang keseluruhan materi dan memperkuat koneksi antar materi yang sudah dipelajari, selanjutnya adalah melakukan aksi nyata dengan menerapkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara di kelas dan sekolah. Akan tetapi, hal ini tidak memungkinkan terlaksana secara maksimal karena semua sekolah di Makassar belum mendapatkan ijin dari pemerintah untuk melakukan pembelajaran tatap muka. 

Selanjutnya kami dituntun mengidentifikasi nilai-nilai diri sendiri, yang selama ini melekat dalam pribadi masing-masing dengan membuat diagram trapesium usia. Diagram tersebut membagi usia dalam tiga tahap, yakni tahap usia sekolah, usia aktif/ kerja, dan usia pensiun. Kemudian menuliskan secara detail masing-masing satu peristiwa yang bernuansa positif dan negatif yang terjadi pada saat usia sekolah. Dalam setiap peristiwa itu, dituliskan orang-orang yang terlibat serta selisih dari usia sekarang dan usia pada saat kedua peristiwa tersebut terjadi. Setelah itu, kami dituntun merefleksi kedua peristiwa tersebut dengan menuliskan alasan mengapa momen yang terjadi di masa sekolah masih dapat dirasakan dan mungkin masih dapat memengaruhi diri hingga sekarang. Selain itu, kami juga diminta menuliskan pendapat mengenai peran dari seorang Guru jika dikaitkan dengan trapesium usia tersebut.

Awalnya saya mengira tugas membuat diagram trapesium usia adalah hal yang biasa-biasa saja. Ternyata tugas tersebut sungguh menarik dan luar biasa, karena dengan membuat diagram tersebut kita bisa lebih mengenali diri sendiri dan memahami peran seorang guru di masa sekolah yang masih berpengaruh dalam kehidupan hingga dewasa.

Melalui trapesium usia, diketahui bahwa guru sangat berperan pada saat usia sekolah. Usia sekolah merupakan tahap pembentukan karakter, nilai, dan prinsip hidup. Sehingga hadirnya guru sebagai sosok pendidik menjadi hal yang sangat krusial. Pada tahap pembentukan karakter, nilai, dan prinsip hidup tersebut, seorang anak membutuhkan seseorang yang mampu membimbing sekaligus menjadi teladan mereka.

Setelah mencoba memahami nilai dan peran guru melalui trapesium usia, selanjutnya melakukan eksplorasi secara mandiri terhadap konsep nilai dan peran Guru Penggerak dengan melakukan aktifitas yang berbentuk paparan materi. Paparan materi ini terdiri dari 24 halaman, dua di antaranya merupakan pengantar dan penutup. Di beberapa bagian terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab untuk mendukung pemahaman terhadap nilai dan peran guru penggerak.

Awalnya merasa capek dan bosan melihat rangkaian materi yang panjang dan serasa tak berujung dengan pertanyaan yang monoton. Akan tetapi ternyata rangkaian materi dan pertanyaan itu mampu membuat saya melakukan eksplorasi konsep terhadap nilai dan peran guru penggerak.

Pembentukan karakter sangat dipengaruhi oleh pola pikir, kepercayaan, nilai-nilai, keteladanan, sistem/ aturan, dan lingkungan seperti digambarkan pada diagram Identitas Gunung Es. Diagram identitas gunung es pertama kali diperkenalkan oleh psikolog tim Bandung/ Jabar Masagi dalam program penguatan karakter sejak tahun 2016. Konsep perubahan prilaku menjadi karakter dianalogikan seperti gunung es. Bagian gunung es yang nampak di atas permukaan air hanya 12% dan sisanya 88% berada di bawah permukaan air. Karakter dari seseorang diibaratkan seperti bagian gunung es yang nampak di atas permukaan air. Karakter yang bisa terlihat oleh orang lain dan dapat disadari hanya sebesar 12%, sisanya sebesar 88% berada dalam alam bawah sadar manusia. Pola pikir, kepercayaan, nilai-nilai, dan soft skills yang mempengaruhi perilaku manusia berada di dalam diri manusia. Perilaku-perilaku yang telah berulang kali dilakukan menjadi kebiasaan-kebiasaan dan menggambarkan karakter dari seseorang. Oleh karena itu, untuk membentuk karakter perlu pembiasaan. Pembiasaan ini membutuhkan keteladanan dan sistem/ aturan yang konsisten.

Guru hendaknya senantiasa berusaha menggerakkan orang lain. Untuk menggerakkan orang lain, kita terlebih dahulu harus tergerak kemudian bergerak hingga akhirnya bisa menggerakkan orang lain. Semua itu tidak lepas dari bagaimana kita bersikap dan mengambil keputusan yang tentunya sangat dipengaruhi oleh sistem berpikir dalam otak kita. Struktur otak manusia masih memiliki kesamaan dengan otak reptil, mamalia dan primata. Sistem berpikir pada manusia terdiri dari dua bagian yaitu sistem berpikir cepat dan lambat. Sistem berpikir cepat diperankan oleh otak reptil dan otak mamalia manusia, sedangkan sistem berpikir lambat diperankan oleh otak primata yang terhubung dengan otak luhur manusia. Pada sistem berpikir cepat semua keputusan terjadi sangat cepat, intuitif, naluriah, hampir seperti otomatis. Sedangkan di sistem berpikir lambat, rasional dan penuh perhitungan. Kita menggunakan sistem berpikir cepat saat melakukan analisa, problem solving, dan memecahkan hal-hal yang rumit. Terkadang manusia salah dalam mengambil keputusan karena ia mengambil keputusan berdasarkan intuisi saja tanpa melakukan analisa terlebih dahulu. Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan kita jangan bergantung pada intuisi saja, melainkan harus dipadukan dengan logika dan pemikiran yang rasional.

Profil pelajar Pancasila merupakan pedoman pendidikan di Indonesia yang mengharapkan terwujudnya pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Profil pelajar Pancasila terdiri dari beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Pada profil yang pertama, pelajar Indonesia diharapkan menjadi insan yang memahami ajaran agama dan kepercayaannya serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, pelajar Indonesia diharapkan bisa mempertahankan budaya luhur, lokalitas dan identitasnya dan tetap berpikiran terbuka dalam berinteraksi dengan budaya lain. Ketiga, pelajar Indonesia diharapkan bisa melakukan kegiatan secara bersama-sama dengan suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan lancar, mudah, dan ringan. Keempat, pelajar Indonesia diharapkan bisa bertanggung jawab atas proses dan hasil belajarnya. Kelima, pelajar Indonesia diharapkan mampu secara objektif memproses informasi baik kualitatif maupun kuantitatif, membangun keterkaitan antara berbagai informasi, menganalisis informasi, mengevaluasi, dan menyimpulkannya. Keenam, pelajar Indonesia diharapkan mampu memodifikasi dan menghasilkan sesuatu yang orisinal, bermakna, bermanfaat dan berdampak.

Dalam mewujudkan profil pelajar Pancasila, guru penggerak memegang peranan yang sangat penting. Dengan berbekal nilai mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada murid, seorang guru penggerak diharapkan bisa menjadi pemimpin pembelajaran, menggerakkan komunitas praktisi, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi antar guru, mewujudkan kepemimpinan murid.

Dalam memimpin pembelajaran, seorang guru penggerak hendaknya melakukan praktik pembelajaran yang berpihak pada murid, yaitu:

  1. Pembelajaran yang interaktif dengan melibatkan guru, peserta didik, masyarakat, lingkungan alam, dan sumber/ media lainnya.
  2. Pembelajaran secara jejaring, yakni menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta diperoleh melalui internet.
  3. Pembelajaran berbasis multimedia.
  4. Pembelajaran kritis melalui pembelajaran berbasis HOTS (Higher Order Thinking Skill) serta pembelajaran aktif yang memungkinkan siswa aktif mencari melalui pendekatan saintifik.
  5. Pembelajaran dengan pola belajar kelompok (berbasis tim).
  6. Mengembangkan pembelajaran dalam upaya pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik.
  7. Pembelajaran yang bisa melibatkan banyak disiplin ilmu (multidisciplines).

Komunitas praktik seperti MGMP juga menempati posisi yang sangat strategis dalam mewujudkan profil pelajar Pancasila. Oleh karena itu, kedepannya guru penggerak juga hendaknya bisa menggerakkan MGMP untuk berkontribusi aktif dalam mewujudkan profil pelajar Pancasila. Melalui MGMP bisa terjalin kerjasama secara kolaboratif antar guru mata pelajaran, guru bisa meningkatkan kompetensi melalui pelatihan dan workshop di MGMP, serta saling berbagi praktik yang baik terkait pembelajaran di kelas.

Selain itu, guru penggerak juga hendaknya bisa menjadi mentor bagi guru lain. Dengan demikian, seluruh guru akan maju dan berkembang bersama. Guru penggerak juga hendaknya menjalin kerjasama dengan guru lain, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat sekitar dalam mencapai profil pelajar Pancasila. Serta membantu murid untuk mandiri dalam belajar, memunculkan motivasi untuk belajar, dan mendidik karakter murid di sekolah.


Share:

0 comments:

Post a Comment

Komentar Terbaru

Translate

Followers

Guru Itung. Powered by Blogger.

Contact Form

Name

Email *

Message *