Oleh: Jamaluddin Tahuddin
Kegiatan pada pekan ke-8 meliputi: aksi nyata Visi Guru Penggerak pada modul 1.3, mulai dari diri dan eksplorasi konsep budaya positif pada modul 1.4. Aksi nyata modul 1.3 dikerjakan secara mandiri selama 1 JP. Pada aksi nyata ini, CGP menjalankan rencana manajemen perubahan yang telah dibuat pada tahap Koneksi Antarmateri.
Berdasarkan rancangan tindakan perubahan dengan menggunakan tahapan B-A-G-J-A, maka tahapannya adalah sebagai berikut:
Untuk mengenal kekuatan dan potensi murid pada tahapan Buat Pertanyaan (Define), guru mencari tahu hal baik apa yang dapat ditemukan dari murid biasa dalam kegiatan belajar serta apa yang menarik dari respon, aktivitas, dan hasil belajar murid biasa. Dalam hal ini guru mengamati aktivitas murid biasa baik pada saat belajar di kelas maupun di luar kelas dan memperhatikan hasil belajar mereka.
Pada tahapan Ambil Pelajaran (Discover), guru mencari tahu siapakah murid biasa yang pernah berprestasi, bagaimana cara dia mengatur waktu belajarnya, apa saja yang dia lakukan agar bisa berprestasi, hal baik apa yang telah guru lakukan selama ini yang mendukung usahanya untuk berprestasi, dan kemampuan apa yang dimiliki guru yang dapat membantunya berprestasi. Tindakan yang diambil guru adalah mencari profil murid biasa yang pernah berprestasi, mencari tahu dan mencatat bagaimana dia mengatur waktu belajarnya dan kegiatannya.
Tahapan Gali Mimpi (Dream) ditempuh dengan mencari tahu apakah kebiasaan-kebiasaan baru yang guru lakukan tetap dilakukan setelah murid berprestasi, bagaimana perasaan guru jika berhasil menjadikan murid biasa berprestasi, apa saja hal-hal baru yang bisa dilakukan setelah berhasil menjadikan murid biasa berprestasi, dan hal-hal apa yang mendukung murid biasa bisa berprestasi. Tindakan yang dilakukan oleh guru untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu adalah dengan membuat gambar diri dengan murid biasa yang berprestasi, memajangnya di kamar dan mengingatnya selama guru melakukan usaha-usaha selanjutnya.
Tahapan selanjutnya adalah Jabarkan Rencana (Design). Pada tahapan ini, guru menjabarkan rencana terkait berapa lama target untuk menjadikan murid biasa berprestasi, tindakan-tindakan apa yang bisa mendukung murid biasa berprestasi, bagaimana mengukur kemajuan dan menentukan langkah selanjutnya, bagaimana cara agar murid biasa saling menyemangati untuk bisa berprestasi, dan apa langkah paling sederhana/ langkah pertama yang bisa dilakukan. Untuk itu, guru membuat capaian yang realistis untuk setiap minggunya, membuat catatan besar target yang akan dicapai per minggu dan memajangnya di kaca lemari, membuat time schedule, memasang papan pengumuman untuk mengingatkan program yang akan dilaksanakan, serta meminta istri dan teman sejawat untuk mengingatkan program yang akan dilaksanakan.
Tahap terakhir adalah Atur eksekusi (Deliver). Guru mengatur siapa saja yang akan dilibatkan dalam mewujudkan rencana, berperan sebagai apa saja, kapan usaha menggali potensi murid biasa akan mulai dilakukan, siapa yang bisa mengarahkan dan memantau kegiatan yang dilakukan, bagaimana pencatatan kemajuan dari kegiatan yang saya lakukan, dan siapa yang akan menampung curhatan tentang kesulitan-kesulitan menggali potensi murid biasa. Dalam melaksanakan tahapan ini, guru mengajak guru lain yang memiliki keinginan yang sama, aktif mengikuti kegiatan MGMP, lebih sering berinteraksi dengan murid biasa, dan menjalin komunikasi dengan orang tua murid terkait kegiatan anak di rumah.
Setelah aksi nyata modul 1.3, dilanjutkan dengan modul 1.4 yang membahas tentang Budaya Positif diawali dengan mulai dari diri. Kegiatan ini merupakan kegiatan refleksi yang dilakukan secara mandiri dengan durasi 1 JP. CGP merefleksi proses pendidikan yang ia peroleh dulu di bangku sekolah dalam membentuk karakter dirinya. Sebagai pengantar, CGP diminta sejenak mengingat kembali ketika menjadi murid dulu di SD, SMP, dan SMA. Lalu CGP diminta menceritakan bagaimana budaya interaksinya sebagai murid dengan guru ketika sekolah dulu, dan bagaimana budaya sekolahnya mempengaruhi karakternya. Dari hasil refleksi pengalaman masa lalu yang dikaitkan dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan nilai guru penggerak, CGP lalu menjelaskan konsep budaya positif yang dipahami. CGP kemudian menuliskan harapan yang ingin ditumbuhkan pada diri sebagai seorang pendidik dalam mengembangkan budaya belajar di sekolah serta apa saja kegiatan, materi, dan manfaat yang diharapkan dalam modul.
Kegiatan refleksi ini mengingatkan saya ketika terpaksa harus sering berurusan dengan guru lantaran sering terlambat. Jarak rumah dari sekolah yang relatif jauh dan ke sekolah dengan mengayuh sepeda menjadi sebab saya sering terlambat. Akan tetapi, prestasi hasil belajar yang bagus menarik perhatian bagi guru. Interaksi dan komunikasi yang baik dengan guru membuat mereka mulai memahami kondisiku, bahkan ada di antara guru yang mengajak saya tinggal di rumahnya. Salah satu budaya positif yang terbangun di sekolah adalah guru yang perhatian dan teman-teman yang bersahabat tanpa memandang status dan strata. Selain itu, pengajian bulanan dari rumah ke rumah setiap bulannya membuat silaturahmi semakin terjalin erat. Semua itu membuat saya berkesimpulan bahwa budaya positif adalah berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan yang bersifat positif. Kebiasaan itu bisa secara fisik maupun non fisik. Budaya positif yang sifatnya fisik, misalnya bentuk bangunan atau sarana prasarana yang dirancang khusus agar bisa mendukung keberlangsungan pendidikan. Sementara budaya positif yang berbentuk non fisik, misalnya aturan, tata tertib atau norma yang dibuat dan disepakati bersama yang bisa mendukung tumbuh kembangnya anak.
Dalam mengembangkan budaya belajar di sekolah, sebagai pendidik saya berharap bisa membangun komunikasi yang lebih baik dengan murid agar bisa mengetahui lebih dekat apa yang mereka butuhkan sehingga muncul rasa saling menyayangi dan saling membutuhkan. Selain itu, saya juga berharap bisa mengetahui bagaimana mengembangkan budaya positif di sekolah agar murid bisa merasakan merdeka belajar dan mengembangkan dirinya sesuai kodrat yang dimiliki.
Kegiatan eksplorasi konsep budaya positif meliputi: urgensi budaya positif di sekolah, peran sekolah sebagai institusi pembentukan karakter, pelajar Indonesia, panduan dalam pelaksanaan program pendidikan karakter di sekolah, landasan budaya positif yang berpihak pada murid, posisi kontrol guru, disiplin positif, hukuman dan konsekuensi, upaya membangun budaya positif yang berpihak pada murid, membuat kesepakatan kelas sebagai langkah awal dalam membangun budaya positif yang berpihak pada murid, dan menciptakan visi sekolah untuk membangun budaya positif yang berpihak pada murid.
Dari kegiatan eksplorasi konsep budaya positif, diketahui bahwa sekolah sebagai institusi pembentukan karakter tentunya menjadikan budaya positif sebagai bagian dari visi sekolah. Menurut filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Oleh karena itu, guru hendaknya membentuk komunitas di sekolah yang menerapkan budaya positif agar murid yang menjadi bagian dari komunitas itu memiliki karakter yang tidak hanya bermanfaat untuk diri sendiri, melainkan juga bermanfaat bagi masyarakat. Dengan demikian, budaya positif yang telah melekat pada diri murid dan menjadi karakter saat mereka hidup di tengah masyarakat serta membentuk komunitas masyarakat yang menerapkan budaya positif.
Adapun yang dimaksud dengan budaya positif di sekolah ialah nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan bertanggung jawab. Dalam mewujudkan budaya positif ini, guru memegang peranan sentral. Guru perlu memahami posisi apa yang tepat untuk dapat mewujudkan budaya positif baik lingkup kelas maupun sekolah. Selain itu, pemahaman akan disiplin positif juga diperlukan karena sebagai pamong, guru diharapkan dapat menuntun murid untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, guru hendaknya memahami dua konsep yaitu posisi kontrol guru dan disiplin positif yang menjadi landasan dari budaya positif.
Posisi kontrol guru menurut Gossen (2004) terdiri dari penghukum, pembuat rasa bersalah, teman, pengontrol, dan manajer. Dalam menumbuhkan disiplin pada diri murid secara intrinsik, guru perlu berperan pada posisi kontrol manajer yang bertanya dan membuat kesepakatan kelas bila murid melakukan kesalahan atau pelanggaran, bukan menuduh, memberi hukuman atau sebagai teman yang membiarkan murid melakukan kesalahan atau pelanggaran. Hal ini dilakukan karena pendidik sebagai pamong yaitu “menuntun” atau memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Anak diberi kebebasan, namun perlu diberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Oleh karena itu, pada kesehariannya, pamong juga berperan sebagai pengontrol untuk mengingatkan murid jika berada dalam bahaya. Pada kesempatan lain, guru juga dapat berperan sebagai teman ketika berinteraksi agar dapat memahami murid dan membangun kedekatan.
Disiplin positif merupakan landasan untuk membangun budaya positif di sekolah. Disiplin positif mengajarkan keterampilan sosial dan emosional dan keterampilan kehidupan yang penting dengan cara penuh hormat dan membesarkan hati tidak hanya bagi murid tetapi juga bagi orang dewasa (termasuk orangtua, guru, staf administrasi dan lainnya). Tujuan akhir dari disiplin adalah agar murid memahami perilaku mereka sendiri, mengambil inisiatif, menjadi bertanggung jawab atas pilihan mereka, dan menghargai diri mereka sendiri dan orang lain. Menerapkan pendekatan disiplin positif dapat membantu sekolah memainkan peran penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi. Murid cenderung menjadikan orang dewasa sebagai model; jika murid melihat orang dewasa menggunakan kekerasan fisik atau psikologis, mereka akan belajar bahwa kekerasan dapat diterima sehingga ada kemungkinan mereka akan menggunakan kekerasan terhadap orang lain. Sekolah memiliki peran penting dalam membimbing, memperbaiki, dan mensosialisasikan kepada murid mengenai perilaku yang sesuai. Agar perubahan berhasil, diperlukan pendekatan terkoordinasi yang melibatkan semua peran di komunitas sekolah. Sekolah perlu bekerja dengan orangtua untuk memastikan konsistensi antara rumah dan sekolah, serta membekali mereka dengan informasi dan alat untuk mempraktekkan disiplin positif di rumah.
Upaya dalam membangun budaya positif di sekolah yang berpihak pada murid diawali dengan membentuk lingkungan kelas yang mendukung terciptanya budaya positif, yaitu dengan menyusun kesepakatan kelas. Kesepakatan kelas yang efektif dapat membantu dalam pembentukan budaya disiplin positif di kelas. Hal ini juga dapat membantu proses belajar mengajar yang lebih mudah dan tidak menekan. Seringkali permasalahan dengan murid berkaitan dengan komunikasi antara murid dengan guru, terutama ketika murid melanggar suatu aturan dengan alasan tidak mengetahui adanya aturan tersebut. Kurang adanya komunikasi ini menyebabkan relasi murid dan guru menjadi kurang baik.
Kesepakatan kelas berisi beberapa aturan untuk membantu guru dan murid bekerja bersama membentuk kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kesepakatan kelas tidak hanya berisi harapan guru terhadap murid, tapi juga harapan murid terhadap guru. Kesepakatan disusun dan dikembangkan bersama-sama antara guru dan murid.
Dalam menyusun kesepakatan kelas, guru perlu mempertimbangkan hal yang penting dan hal yang bisa dikesampingkan. Murid dapat mengalami kesulitan dalam mengingat banyak informasi, jadi susunlah 4 - 8 aturan untuk setiap kelas. Jika berlebihan, murid akan merasa kesulitan dan tidak mendapatkan makna dari kesepakatan kelas tersebut. Kesepakatan harus disusun dengan jelas sehingga murid dapat memahami perilaku apa yang diharapkan dari mereka.
Kesepakatan yang disusun sebaiknya mudah dipahami dan dapat langsung dilakukan. Oleh karena itu, dalam kesepakatan kelas gunakan kalimat positif seperti, “Saling menghormati” ,“Berjalan jika berada di lorong kelas”. Kalimat positif lebih mudah dipahami murid dibandingkan kalimat negatif yang mengandung kata seperti, “dilarang” atau “tidak”.
Kesepakatan perlu dapat diperbaiki dan dikembangkan secara berkala, seperti setiap awal semester. Untuk mempermudah pemahaman murid, kesepakatan dapat ditulis, digambar, atau disusun sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dan disadari oleh murid. Strategi lain adalah dengan mencetaknya di setiap buku laporan kegiatan murid. Hal ini menjadi strategi yang baik untuk meningkatkan komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah.
Setelah mempelajari konsep mengenai sekolah sebagai institusi pembentukan karakter, sekolah sebagai institusi pembentuk karakter hendaknya melibatkan seluruh warga sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat. Selain itu, sekolah juga harus menetapkan karakter yang ingin dibentuk dalam kurikulum dan menjadikannya sebagai nilai yang dianut oleh seluruh warga sekolah. Eksplorasi terhadap konsep posisi kontrol guru membuat saya merasa senang karena dengan melihat kelima perilaku guru tersebut saya bisa mengetahui perilaku yang paling tepat dalam membentuk budaya positif di sekolah. Saya menyadari bahwa selama ini saya biasanya menganjurkan murid untuk membuat jadwal belajar di rumah. Hanya saja, anjuran itu masih berbentuk instruksi. Seharusnya mereka diajak bertukar pikiran terlebih dahulu sehingga mereka memahami pentingnya setiap tindakan yang mereka lakukan. Dengan demikian, mereka akan menjadikannya sebagai budaya positif karena merasa hal itu penting dan bermanfaat bagi dirinya.
Dari kelima posisi kontrol guru, posisi yang ingin saya perankan adalah posisi kontrol sebagai manajer karena posisi ini bisa membentuk dan mengembangkan budaya positif berdasarkan kesepakatan, sesuai harapan murid, dan dilakukan atas inisiatif sendiri sehingga muncul disiplin dan motivasi dari dalam diri murid tanpa merasa terpaksa. Untuk itu, saya akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
- mengajak murid untuk melihat permasalahan
- bertanya dan meminta tanggapan murid terhadap solusi yang tepat atas masalah tersebut.
- membuat kesepakatan dengan murid mengenai solusi atas masalah tersebut.
- menanyakan kepada murid mengenai harapan mereka terhadap penyelesaian masalah tersebut.
- memfasilitasi murid untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Pemberian hukuman dan hadiah secara praktis mampu mengontrol pembentukan karakter murid. Akan tetapi, hanya bersifat jangka pendek dan hanya berlaku saat guru yang bersangkutan ada di kelas atau saat ada hadiah saja. Jadi, murid-muridnya hanya patuh karena takut dihukum atau karena mengharapkan hadiah semata. Kepatuhan mereka tidak didasarkan atas kesadaran dan keikhlasan. Mereka pun tidak mengetahui untuk apa mereka patuh dan apa konsekuensinya jika mereka tidak patuh selain daripada hukuman dan hadiah.
Sebaiknya guru dalam menyelesaikan masalah penerapan disiplin di kelasnya hendaknya mengawali dengan menyusun kesepakatan kelas. Kesepakatan kelas yang efektif dapat membantu dalam pembentukan budaya disiplin positif di kelas. Hal ini juga dapat membantu proses belajar mengajar yang lebih mudah dan tidak menekan. Hasil kesepakatan kelas dipasang di dinding kelas untuk mengingatkan murid setiap saat.
Lokakarya 2 yang dipandu oleh pendamping membahas mengenai komunitas praktisi. Kegiatan ini diawali dengan mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi terkait hubungan dengan murid, rekan sejawat, cara mengajar, dan hal non teknis lainnya. Selanjutnya masing-masing kelompok mendiskusikan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut. Ternyata setiap masalah yang ditempel di kertas plano memiliki solusi yang juga berasal dari peserta. Setelah membahas solusi setiap permasalahan, setiap peserta membuat karya berupa poster yang berisi tentang ide komunitas praktisi. Poster itu dibuat berdasarkan kreatifitas masing-masing peserta. Ada yang menggambarkan komunitas praktisi dalam bentuk kapal, rumah, kereta, pohon, dan lain sebagainya. Intinya dalam poster itu menunjukkan manfaat, tantangan, peluang, dan cara menggerakkan komunitas praktisi. CGP juga diberikan kesempatan menuliskan kelemahan dan kelebihan serta cara meningkatkan diri untuk menjalankan peran dalam menggerakkan komunitas praktisi. Terakhir CGP membuat rencana pengembangan komunitas praktisi yang dibagi menjadi 3 tahap yaitu tahap merintis, menumbuhkan, dan merawat keberlanjutan. Tahap merintis merupakan tahapan memulai sebuah komunitas praktisi. Adapun kegiatan pada tahap ini meliputi membangun percakapan awal, menemukan pengikut pertama, dan membangun percakapan bermakna. Pada tahap menumbuhkan, komunitas praktisi dapat menyebarluaskan pengetahuan dan praktik baik secara lebih luas. Kegiatan pada tahap menumbuhkan meliputi menyelenggarakan pertemuan rutin, mendorong dan mendampingi anggota komunitas menerapkan hasil belajar, mendokumentasikan dan membagikan hasil belajar. Tahap merawat keberlanjutan komunitas praktisi adalah tahap untuk memastikan proses baik yang sudah berjalan di dalam komunitas akan terus memberi dampak positif bagi anggota komunitas dan murid walaupun terjadi perubahan-perubahan situasi yang berkaitan dengan komunitas praktisi. Kegiatan pada tahap merawat keberlanjutan komunitas praktisi meliputi mengembangkan anggota menjadi penggerak komunitas praktisi, menginisiasi kolaborasi, dan menyelenggarakan proyek kegiatan murid.
0 comments:
Post a Comment