Kunjungi Channel YouTube kami di "Guru Itung" Channel

Halaman

Saturday, August 21, 2021

Catatan Akhir Pekan Guru Penggerak Part 15: Coaching Model TIRTA

Oleh: Jamaluddin Tahuddin

Setelah menyimak video mengenai coaching model TIRTA, saya dapat menyimpulkan bahwa:

  • Dalam membantu coachee mengenali situasi permasalahan yang dihadapi coachee, coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dan menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee.
  • Dalam memberi respon terhadap permasalahan yang dihadapi coachee, coach berusaha untuk terus menggali potensi coachee yang dapat digunakan dalam menyelesaikan permasalahannya. Coach juga berusaha untuk terus memberi motivasi kepada coachee dengan memberikan respon positif terhadap setiap jawaban yang diberikan oleh coachee
  • Praktik coaching model TIRTA pada dasarnya dapat dipraktikkan dalam sistuasi dan konteks lokal kelas dan sekolah. Hanya saja tentu bukanlah hal yang mudah untuk melakukannya karena butuh rasa percaya diri dan keterbukaan dari murid untuk mengungkapkan permasalahan mereka. Sehingga perlu menumbuhkan rasa aman dan nyaman bagi murid agar mereka merasa percaya diri dan terbuka dalam mengungkapkan permasalahan yang mereka hadapi.
  • Yang dapat membantu melatih praktik coaching model TIRTA di kelas dan sekolah adalah rekan guru, orang tua murid, dan murid itu sendiri. Rekan guru dan orang tua juga perlu mengetahui dan mempraktekkan coaching model TIRTA baik di sekolah maupun di rumah. Sehingga murid merasa tidak sendiri baik di sekolah maupun di rumah. Sedangkan murid perlu memiliki rasa percaya diri dan keterbukaan dalam menyelesaikan masalah yang ia hadapi.

Pada sesi kolaborasi, kami melakukan praktik coaching dengan menggunakan model TIRTA. Kami mempraktikkan ketiga kasus yang ada di LMS. Pada kasus 1, seorang murid tidak mau bekerja sama dengan teman-temannya. Dia selalu memiliki alasan, seperti tidak cocok dengan teman-temannya atau dengan alasan lain. Dia memilih bekerja sendiri dan mengumpulkan tugasnya sendiri. Hasil yang dikumpulkan secara mandiri itu selalu bagus. Pada kasus 2, Seorang murid bercerita jika dia merasa diperlakukan tidak adil oleh seorang guru. Guru tersebut membuka les privat, dan sebagian besar murid di kelas mengikuti les privat tersebut, kecuali murid tersebut. Murid tersebut merasa tidak nyaman ketika guru sering menyindir murid yang tidak mau ikut les privatnya. Bahkan, murid tersebut juga merasa bahwa nilai yang diberikan pun tidak adil, para murid yang mengikuti les guru tersebut mendapatkan nilai yang lebih baik dari murid tersebut. Pada kasus 3, rekan Anda bercerita jika dia baru saja mendapatkan teguran dari kepala sekolah yang menerima laporan dari pengawas sekolah yang melakukan supervisi saat ia mengajar. Pengawas sekolah yang melakukan supervisi tampak keberatan ketika rekan Anda mengajar tanpa buku teks. Rekan Anda mengajar dengan memanfaatkan sumber-sumber belajar lainnya. Ketika diingatkan pengawas tersebut, rekan Anda menyampaikan jika ia tetap mengacu pada kurikulum walaupun tidak menggunakan buku teks. Pengawas tersebut tampaknya tersinggung dan memberikan laporan tentang hal itu kepada kepala sekolah.

Kelompok terdiri dari tiga (3) calon guru Penggerak, satu orang akan berperan sebagai coach, satu orang lainnya berperan sebagai coachee, dan satu orang lainnya berperan sebagai pengamat yang mengobservasi proses praktek coaching model TIRTA dengan menggunakan lembar pengamatan. Peran dilakukan secara bergantian di setiap kasus (disediakan 3 kasus). Di setiap akhir praktek coaching di satu kasus, pengamat menyampaikan hasil pengamatannya.

Sebelum mempelajari modul ini, saya pikir bahwa coaching itu seperti membimbing atau melatih orang lain seperti layaknya pada pelatihan atau workshop. Saya juga merasa bahwa coaching itu tidak terlalu penting dipelajari karena cukup menguasai ilmu komunikasi saja. Tapi, setelah mempelajari modul ini, saya pikir bahwa coaching adalah mengarahkan orang lain untuk memecahkan masalahnya dengan menggali potensi yang dimiliki orang tersebut. Jadi, ternyata coaching itu tidak bersifat menggurui seperti yang saya pikir sebelumnya. Saya juga merasa bahwa coaching itu sangat penting dipelajari dan dipraktikkan karena menguasai ilmu komunikasi tidaklah cukup untuk melakukan coaching. Selain dengan komunikasi yang baik, coaching juga membutuhkan strategi tertentu untuk bisa membantu orang lain menggali potensinya untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapinya. Dari empat kelompok kompetensi dasar seorang coach, saya merasa bahwa kekuatan saya ada pada kompetensi keterampilan berkomunikasi karena saya bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang lain. Dari teknik coaching yang saya pelajari, teknik yang perlu saya kembangkan dan latih adalah teknik mengidentifikasi masalah. Karena kendala yang mungkin dihadapi ketika melakukan coaching adalah saat berupaya melakukan sesi coaching dengan murid di sekolah, murid masih tidak percaya diri dan tidak memiliki keterbukaan dalam menyampaikan pendapat. Sehingga butuh teknik tersendiri agar dapat mengidentifikasi masalah maupun potensi yang dimiliki murid. Kendala yang dihadapi ketika melakukan praktik coaching dalam komunitas praktisi adalah beberapa teman memiliki sifat sensitif dan mudah tersinggung. Sehingga harus sangat berhati-hati ketika ingin berkomunikasi dengannya terutama untuk membahas hal-hal yang terkait dengan masalah yang dihadapinya. Kita bisa saja dicap sebagai orang yang gila urusan dan lain sebagainya. Upaya yang saya lakukan dalam menghadapi kendala tersebut adalah Saya mencoba membuka pembicaraan dengan hal-hal lain terlebih dahulu. Misal dengan menanyakan kabarnya, kemudian membahas topik yang berhubungan dengan kegemarannya hingga membahas masalah yang dihadapinya


Share:

Saturday, August 14, 2021

Catatan Akhir Pekan Guru Penggerak Part 14: Coaching, Mentoring, atau Konseling

Oleh: Jamaluddin Tahuddin

Aksi nyata pada modul pembelajaran sosial emosional merupakan perpaduan antara pembelajaran diferensisasi dengan pembelajaran social emosional. Kegiatan ini dilakukan dengan menyiapkan sebuah RPP terlebih dahulu. Dalam RPP tersebut, diharapkan mengandung unsur diferensiasi dan kompetensi sosial-emosional, terdapat unsur diferensiasi konten/ proses/ produk, terdapat teknik/kegiatan untuk mendorong 2 (dua) dari 5 (lima) kompetensi sosial-emosional, baik itu kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, keterampilan berhubungan sosial atau pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Selanjutnya dipraktikkan di kelas dan didokumentasikan dalam bentuk video. Pembelajaran berlangsung sebagaimana durasi jam pelajaran yang berlaku. Namun, video yang dikumpulkan berdurasi antara 15-20 menit dengan rincian 10-15 menit untuk unsur-unsur yang dianggap penting dalam pembelajaran dan 5 menit terakhir untuk refleksi.

Dalam refleksi 5 menit itu, guru menyampaikan perasaan dan pembelajaran yang didapatkan selama perencanaan dan pelaksanaan, serta rencana perbaikan untuk pembelajaran berikutnya di kelas. Selanjutnya video diunggah melalui laman YouTube. RPP dan tautan dari video tersebut diunggah pada pada forum berbagi aksi nyata.

Modul coaching diawali dengan mengirimkan tanggapan dari kasus-kasus yang mungkin terjadi di sekolah. Dimana sejak mengajar selama 16 tahun 10 bulan, berbagai pengalaman dengan berbagai kasus yang saya temui di sekolah. Kasus seperti seorang murid berprestasi yang mengeluhkan tentang susah konsentrasi dan penurunan motivasi belajar yang mengakibatkan ketidakpuasan orangtuanya. Sebagai pendidik, tentu saya akan membantu anak itu mengenali apa yang ia rasakan dan apa penyebabnya. Selanjutnya membimbingnya mengatasi penyebab dari masalah yang ia hadapi dan memotivasinya untuk tetap konsentrasi dalam belajar. Dalam kasus lain, seorang murid datang kepada saya dengan keluhan bahwa ia tidak bisa mengikuti beberapa pelajaran dengan baik ketika di ajar oleh guru-guru tertentu yang tidak sesuai dengan harapannya. Maka sikap saya adalah membantu murid itu mengidentifikasi masalah apa saja yang ia hadapi, lalu menginventarisir berbagai pilihan yang bisa dijadikan solusi atas masalah tersebut. Setelah itu, mengidentifikasi dampak positif dan negatif dari setiap pilihan tersebut lalu menentukan pilihan yang paling sedikit dampak negatifnya dan paling besar dampak positifnya. Tak lupa senantiasa memantau bagaimana perkembangan dari solusi yang dipilih.

Sebelum mempelajari modul coaching, saya berharap bisa membimbing murid dengan lebih baik sehingga mereka bisa memahami pelajaran yang diberikan dengan lebih mudah dan mampu memotivasi mereka agar senantiasa rajin belajar.  Saya juga berharap murid bisa memahami pelajaran yang diberikan dengan lebih mudah dan senantiasa termotivasi untuk rajin belajar. Saya berharap dalam modul ini kita dilatih membimbing dan memotivasi murid sehingga guru bisa menjadi pembimbing dan motivator yang handal.

Ternyata setelah mempelajari modul ini, apa yang saya dapatkan melampaui harapan yang terlintas dalam benak karena ternyata guru tidak sekedar menjadi mentor atau konselor saja melainkan juga menjadi coach. Adapun pengertian coaching menurut Grant (1999) adalah sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee. Sedangkan Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya.

Dari definisi coaching tersebut, saya mengambil prinsip-prinsip coaching yaitu proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, memfasilitasi, dan membantu untuk belajar. Sebetulnya sebagai guru, saya pernah menerapkan prinsip-prinsip coaching di sekolah. Dalam sebuah kesempatan, pada saat peserta didik menyelesaikan masalah matematika, saya memberikan petunjuk beberapa alternatif cara atau rumus yang bisa digunakan untuk menyelesaikannya. Dan peserta didik akan memilih cara atau rumus yang menurut mereka lebih mudah dan lebih cepat menyelesaikan masalah. Sebagai contoh, ketika peserta didik ingin mengetahui luas daerah segitiga, mereka bisa membagi panjang alasnya dengan 2 lalu dikalikan dengan tingginya, atau mengalikan panjang alas dengan tinggi terlebih dahulu lalu hasilnya dibagi dengan 2.

Selain itu, International Coach Federation (ICF) juga mendefinisikan coaching sebagai:

“…bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.”

Dari definisi ini, Pramudianto (2020) menyampaikan tiga makna yaitu:

  • Kemitraan. Hubungan coach dan coachee adalah hubungan kemitraan yang setara. Untuk membantu coachee mencapai tujuannya, seorang coach mendukung secara maksimal tanpa memperlihatkan otoritas yang lebih tinggi dari coachee.
  • Memberdayakan. Proses inilah yang membedakan coaching dengan proses lainnya. Dalam hal ini,  dengan sesi coaching yang ditekankan pada bertanya reflektif dan mendalam, seorang coach menginspirasi coachee untuk menemukan jawaban-jawaban sendiri atas permasalahannya.
  • Optimalisasi. Selain menemukan jawaban sendiri, seorang coach akan berupaya memastikan jawaban yang didapat oleh coachee diterapkan dalam aksi nyata sehingga potensi coachee berkembang.

Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa tujuan pendidikan itu ‘menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. oleh sebab itu peran seorang coach (pendidik) adalah menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Dalam proses coaching, murid diberi kebebasan namun pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar murid tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ melalui pertanyaan-pertanyaan reflektif agar kekuatan kodrat anak terpancar dari dirinya.

Dalam konteks pendidikan Indonesia saat ini, coaching menjadi salah satu proses ‘menuntun’ kemerdekaan belajar murid dalam pembelajaran di sekolah. Coaching menjadi proses yang sangat penting dilakukan di sekolah terutama dengan diluncurkannya program merdeka belajar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Program ini dapat membuat murid menjadi lebih merdeka dalam belajar untuk mengeksplorasi diri guna mencapai tujuan pembelajaran dan memaksimalkan potensinya. Harapannya, proses coaching dapat menjadi salah satu langkah tepat bagi guru untuk membantu murid mencapai tujuannya yaitu kemerdekaan dalam belajar.

Masih terkait dengan kemerdekaan belajar, proses coaching merupakan proses untuk mengaktivasi kerja otak murid. Pertanyaan-pertanyaan reflektif dalam  dapat membuat murid melakukan metakognisi. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan dalam proses coaching juga membuat murid lebih berpikir secara kritis dan mendalam. Yang akhirnya, murid dapat menemukan potensi dan mengembangkannya.

Murid kita di sekolah tentunya memiliki potensi yang berbeda-beda dan menunggu untuk dikembangkan. Pengembangan potensi  inilah yang menjadi tugas seorang guru. Apakah pengembangan diri anak ini cepat, perlahan-lahan atau bahkan berhenti adalah tanggung jawab seorang guru. Pengembangan diri anak dapat dimaksimalkan dengan proses coaching.

Coaching, sebagaimana telah dijelaskan pengertiannya dari awal memiliki peran yang sangat penting karena dapat digunakan untuk menggali potensi murid sekaligus mengembangkannya dengan berbagai strategi yang disepakati bersama. JIka proses coaching berhasil dengan baik, masalah-masalah pembelajaran atau masalah eksternal yang mengganggu proses pembelajaran dan dapat menurunkan potensi murid akan dapat diatasi.

Mengingat pentingnya proses coaching ini sebagai alat untuk memaksimalkan potensi murid, guru hendaknya memiliki keterampilan coaching.  Keterampilan coaching ini sangat erat kaitannya dengan keterampilan berkomunikasi. Berkomunikasi seperti apakah yang perlu seorang coach miliki akan dibahas pada bagian selanjutnya dalam modul coaching ini. Selain keterampilan berkomunikasi, beberapa keterampilan dasar perlu dimiliki oleh seorang coach. International Coach Federation (ICF) memberikan acuan mengenai empat kelompok kompetensi dasar bagi seorang coach yaitu:

  • keterampilan membangun dasar proses coaching
  • keterampilan membangun hubungan baik
  • keterampilan berkomunikasi
  • keterampilan memfasilitasi pembelajaran

Empat keterampilan dasar seorang coach seharusnya dapat dimiliki oleh guru ketika memerankan diri sebagai coach.

Dari keempat keterampilan tersebut, keterampilan yang sudah saya kuasai yaitu keterampilan membangun hubungan baik dan keterampilan berkomunikasi. Sementara keterampilan yang perlu saya asah agar dapat menjalankan coaching dengan baik yaitu keterampilan membangun dasar proses coaching dan keterampilan memfasilitasi pembelajaran. Kendala yang ditemui ketika berupaya meningkatkan keterampilan tersebut adalah belum memahami cara membangun dasar proses coaching, masih belum bisa memfasilitasi pembelajaran secara maksimal, karena biasanya lebih banyak mengajari daripada membantu untuk belajar. Selain itu, sugesti negatif yang dimiliki sebagian besar peserta didik bahwa matematika itu adalah pelajaran yang sangat sulit.

Dari video burung hantu yang membantu sang kancil menyeberang sungai, burung hantu terlebih dahulu membantu sang kancil merefleksi apa saja yang sudah ia lakukan untuk mencapai tujuannya. Ia juga membantu sang kancil untuk menggali potensi yang dimiliki sang kancil. Burung hantu menanggapi pernyataan sang kancil tentang ketidakmampuannya dengan menanyakan kemampuan apa yang dimiliki sang kancil dan bagaimana menerapkannya hingga sang kancil menyadari potensi yang dimilikinya dan berhasil menerapkan potensi yang dimilikinya. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan burung hantu untuk membantu sang kancil adalah sebagai berikut:

  • Apa yang bisa saya bantu?
  • Apa yang telah Anda coba sejauh ini?
  • Bisakah Anda datang ke sungai? Apa yang kamu lihat? Apa yang Anda lihat dalam refleksi itu? Siapa yang kamu lihat?
  • Apakah kamu tidak bisa melakukan apa yang mereka lakukan?
  • Apa yang akan kamu lakukan?
  • Apa kemampuanmu? Tunjukkan bagaimana kamu melakukannya.

Jika saya menjadi sang kancil, tentu akan merasa senang karena sudah merasa dibantu. Selain itu saya juga merasa puas dan lega karena telah mampu melakukannya sendiri dengan potensi yang dimiliki tanpa harus berusaha menjadi seperti orang lain. Jika saya adalah burung hantu dan kancil adalah murid, tentu saya mesti sabar karena mereka tentu sangat membutuhkan bantuan. Mereka membutuhkan arahan dan petunjuk yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

Sementara itu dari video pengemudi mobil, diperoleh bahwa Ketika pengemudi mobil berperan sebagai konselor, ia menggali masalah-masalah yang dihadapi oleh seseorang yang bermasalah dalam mengemudi mobil di masa lalu. Ketika menjadi mentor, ia membantu seseorang yang bermasalah dalam mengemudi mobil dengan memberikan tips bagaimana mengemudi dengan aman. Dan Ketika ia menjadi coach, ia membantu seseorang yang bermasalah dalam mengemudi mobil dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali kemampuan orang tersebut dalam memulai mengemudi lagi. Perbedaan antara coaching, mentoring, dan konseling dapat ditinjau dari aspek tujuan, hubungan, dan keahlian. 

Ditinjau dari aspek tujuan, coaching mengarahkan coachee untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan memaksimalkan potensinya. Mentoring membagikan  pengalamannya untuk membantu mentee mengembangkan dirinya. Konseling membantu konseli memecahkan masalahnya. 

Ditinjau dari aspek hubungan, coaching merupakan kemitraan yang setara dan coachee sendiri yang mengambil keputusan. Coach hanya mengarahkan saja, coachee lah yang membuat keputusan sendiri. Mentoring merupakan hubungan antara seseorang yang berpengalaman dan yang kurang berpengalaman. Mentor langsung memberikan tips bagaimana menyelesaikan suatu masalah atau mencapai sesuatu. Konseling merupakan hubungan antara seorang ahli dan seseorang yang membutuhkan bantuannya. Konselor bisa saja langsung memberi solusi.

Ditinjau dari aspek keahlian, coach bisa saja seseorang yang ahli, guru, teman  atau rekan kerja. Mentor adalah seseorang yang berpengalaman dalam bidangnya. Konselor adalah seseorang yang ahli  dalam bidangnya.

Guru berperan sebagai konselor pada saat ingin mengetahui masalah yang sedang dihadapi oleh peserta didik. Ini dilakukan dengan cara menggali masalah-masalah yang dihadapi peserta didik di masa lalu. Guru berperan sebagai mentor ketika ingin membagi pengalamannya kepada peserta didik untuk membantu mereka mengembangkan dirinya. Ini dilakukan dengan cara memberikan tips bagaimana menyelesaikan suatu masalah atau mencapai sesuatu. Guru berperan sebagai coach ketika ingin mengarahkan peserta didik untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan memaksimalkan potensinya. Ini bisa dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali kemampuan peserta didik hingga mereka membuat keputusan sendiri. Untuk mendorong potensi murid, peran yang mesti dipilih adalah peran sebagai coach karena coach dapat mengarahkan peserta didik untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan memaksimalkan potensinya. Kendala yang saya alami ketika berperan sebagai seorang coach adalah kadang tidak sabar dalam mengarahkan peserta didik. Sehingga semestinya mereka menyelesaikan masalahnya sendiri dengan memaksimalkan potensi yang mereka miliki, akhirnya saya langsung memberikan solusi atau tips berdasarkan pengalaman yang saya miliki. Padahal ketika saya langsung memberikan solusi, maka otomatis saya tidak menjadi coach melainkan konselor. Begitu pula ketika saya langsung memberikan tips berdasarkan pengalaman yang saya miliki, maka saya pun tidak menjadi coach melainkan mentor. 

Komunikasi merupakan keterampilan dasar coaching. Komunikasi dapat diartikan sebagai proses meneruskan informasi atau pesan dari satu pihak kepihak yang lain dengan menggunakan media kata, tulisan ataupun tanda peraga. Komunikasi dapat terjadi satu arah dan dua arah, dimana ada peran pemberi pesan dan penerima pesan. 4 unsur utama yang mendasari prinsip komunikasi yang memberdayakan, yaitu hubungan saling mempercayai, menggunakan data yang benar, bertujuan menuntun para pihak untuk optimalisasi potensi, dan rencana tindak lanjut atau aksi.

Komunikasi terdiri dari 4 aspek, yaitu komunikasi asertif, pendengar aktif, bertanya efektif, dan umpan balik positif. Setelah melihat tayangan video tentang gaya komunikasi maka saya berkesimpulan bahwa saya miliki adalah gaya komunikasi asertif karena saya memiliki rasa percaya diri dalam menyatakan pendapat, senantiasa mencari jalan tengah dalam menyelesaikan masalah, berpendapat tapi juga belajar mendengarkan pendapat orang lain, dan senantiasa mencari pendapat yang terbaik dan tepat untuk menyelesaikan masalah. Langkah-langkah yang perlu dipelajari untuk menjadi komunikator yang asertif adalah cara berkomunikasi yang baik, melatih empati bagi orang lain, dan menumbuhkan rasa percaya diri dalam menyatakan pendapat. Adapun tantangan saya dalam melakukan komunikasi asertif adalah terkadang saya bersikap egois pada saat menyatakan pendapat. Terkadang muncul rasa ingin diterima pendapatnya tanpa memperdulikan pendapat orang lain. Oleh karena itu, saya perlu berusaha melatih empati bagi orang lain agar bisa memahami orang lain sehingga bisa belajar mendengarkan pendapat orang lain.

Dalam usaha membangun keselarasan berkomunikasi, coach juga perlu belajar menyamakan posisi diri pada saat coaching berlangsung. Beberapa tips singkat yang dapat seorang coach lakukan adalah menyamakan kata kunci, menyamakan bahasa tubuh, menyelaraskan emosi. Setelah mempelajari bagian ini, saya memahami bahwa makna dari membangun sebuah komunikasi asertif dengan murid adalah membangun keselarasan dalam berkomunikasi sehingga murid merasa aman dan nyaman ketika berkomunikasi dengan guru. Dampak yang bisa saya rasakan adalah saya bisa mengetahui tips membangun komunikasi asertif dengan murid, yaitu menyamakan kata kunci, menyamakan bahasa tubuh, dan menyelaraskan emosi. Dengan demikian saya merasa terobsesi untuk mencoba ketiga tips ini ketika berkomunikasi dengan murid. 

Kadang orang merasa bahwa ia sudah memahami apa yang dikatakan orang lain, padahal ia bahkan mungkin belum memikirkan apa yang sudah ia dengar. Untuk memahami dengan baik apa yang kita dengar, tentu terlebih dahulu kita harus pikirkan apa yang kita dengar. Setelah menonton video mendengarkan aktif, saya bisa menyimpulkan bahwa mendengarkan berarti proses mendengar yang dilakukan secara sadar, penuh perhatian, dan penuh konsentrasi. Hambatan yang dapat membuat saya tidak mendengarkan secara aktif adalah adanya suara lain atau ada hal lain yang sedang dipikirkan sehingga saya menjadi tidak konsentrasi pada saat mendengar apa yang orang lain sampaikan. Untuk menghilangkan hambatan tersebut, saya akan mengajak lawan bicara untuk berbincang di tempat yang tenang tanpa gangguan suara yang lain, mengesampingkan urusan lain yang sedang dipikirkan untuk memberikan perhatian penuh pada lawan bicara. Ada 5 Teknik mendengarkan aktif, yaitu memberikan perhatian penuh pada lawan bicara kita dalam menyampaikan pesan, tunjukkan bahwa kita mendengarkan, menanggapi perasaan dengan tepat, Parafrase, dan bertanya.

Bertanya pada coaching merupakan kemampuan bertanya dengan tujuan tertentu. Bukan sekedar jawaban singkat yang diharapkan, namun pertanyaan yang diberikan dapat menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam diri dan yang dapat mendorong coachee untuk membuat sebuah aksi bagi pengembangan potensi diri. 

TIRTA dikembangkan dari satu model coaching yang dikenal sangat luas dan telah diaplikasikan, yaitu GROW model. GROW adalah kepanjangan dari Goal, Reality, Options dan Will. Pada tahapan 1) Goal (Tujuan): coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini, 2) Reality (Hal-hal yang nyata): proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee, 3) Options (Pilihan): coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi. Will (Keinginan untuk maju): komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya. 

Model TIRTA dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang menuntut guru untuk memiliki keterampilan coaching.  Hal ini penting mengingat tujuan coaching yaitu untuk melejitkan potensi murid agar menjadi lebih merdeka. Melalui model TIRTA, guru diharapkan dapat melakukan praktik coaching di komunitas sekolah dengan mudah. TIRTA kepanjangan dari Tujuan. Identifikasi, Rencana aksi, dan Tanggung jawab.

Dari segi bahasa, TIRTA berarti air. Air mengalir dari hulu ke hilir. Jika kita ibaratkan murid kita adalah air, maka biarlah ia merdeka, mengalir lepas hingga ke hilir potensinya. Anda, sebagai guru memiliki tugas untuk menjaga air itu tetap mengalir, tanpa sumbatan.

Tugas guru adalah menyingkirkan sumbatan-sumbatan yang mungkin menghambat potensi murid Anda. Bagaimana cara Anda menjaga agar dapat menyingkirkan sumbatan yang ada? Jawabannya adalah keterampilan coaching.

Dari semua langkah dalam model TIRTA, langkah yang paling menantang adalah Tanggung jawab. Menurut saya, langkah ini cukup menantang karena dari aksi yang telah direncanakan masih dibutuhkan komitmen yang kuat untuk melaksanakan rencana aksi termasuk memilih orang yang dapat membantu menjalankan komitmen tersebut. Kendala yang mungkin dihadapi ketika menggunakan langkah-langkah dalam model TIRTA ketika berupaya melakukan sesi coaching dengan murid di sekolah adalah murid masih tidak percaya diri dan tidak memiliki keterbukaan dalam menyampaikan pendapat.


Share:

Saturday, August 7, 2021

Catatan Akhir Pekan Guru Penggerak Part 13: Mindfullness, STOP, dan POOCH

Oleh: Jamaluddin Tahuddin

Pembelajaran social emosional merupakan pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional. Pembelajaran sosial dan emosional terdiri atas 5 kompetensi, yaitu kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, keterampilan relasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.

Pada kompetensi kesadaran diri, kita mesti mengenali 6 emosi dasar yaitu takut, marah, jijik, kaget, sedih, dan bahagia. Takut sebagai respon emosional terhadap ancaman langsung yang umumnya dianggap sebagai kecemasan, memiliki peranan penting dalam bertahan hidup. Marah yang ditandai dengan permusuhan, pergolakan, frustrasi, dan perselisihan dengan orang lain, berperan dalam perlawanan ketika terdapat suatu ancaman, diwujudkan dalam bentuk menangkis bahaya atau melindungi diri. Jijik yang berasal dari sejumlah hal, termasuk rasa, pemandangan, atau bau yang tidak menyenangkan, bisa juga dalam bentuk kejijikan moral ketika mereka mengamati orang lain terlibat dalam perilaku yang tidak menyenangkan, tidak bermoral, atau jahat. Kaget yang biasanya cukup singkat dan ditandai dengan respons kejutan fisiologis setelah melihat atau mendapat sesuatu yang tidak terduga, bisa positif, negatif, atau netral. Sedih yang ditandai oleh perasaan kecewa, keputusasaan, ketidaktertarikan, dan suasana hati yang muram. Dan bahagia sebagai keadaan yang menyenangkan yang ditandai oleh perasaan puas, gembira, puas, dan sejahtera.

Kompetensi pengelolaan diri merupakan kompetensi mengelola emosi dan fokus. Kompetensi ini dapat dilatihkan dengan menggunakan Teknik STOP (Stop, Take a breath, Observe, Proceed). Stop berarti berhenti. Dalam hal ini kita hendaknya menghentikan apapun yang sedang dilakukan sambil mengambil jeda sejenak. Take a breath berarti tarik napas dalam. Sadari napas masuk, sadari napas keluar. Rasakan udara segar yang masuk melalui hidung. Rasakan udara hangat yang keluar dari lubang hidung. Lakukan 2-3 kali. Napas masuk, napas keluar. Observe berarti amati apa yang dirasakan pada tubuh. Amati sensasi  yang dirasakan pada tubuh. Amati pilihan-pilihan yang dapat dilakukan dengan intensi yang didasari keinginan belajar dan kebaikan. Proceed berarti lanjutkan kegiatan. Latihan selesai bawalah perasaan yang lebih tenang, pikiran yang lebih jernih, dan sikap yang lebih positif dalam aktivitas selanjutnya. 

Kompetensi kesadaran sosial dengan melatih empati dengan menaruh perhatian pada perasaan orang lain dengan 3 pertanyaan dasar, yaitu apa yang dirasakan orang tersebut, apa yang mungkin akan dia lakukan, dan apa yang saya rasakan jika mengalami kejadian yang sama. 

Kompetensi keterampilan sosial berhubungan dengan resiliensi (daya lenting/ ketangguhan): kemampuan individu untuk merespons tantangan atau trauma yang dihadapi dengan cara-cara sehat dan produktif. Sumber resiliensi individu yaitu 3I (I have, I am, I can). I have (saya memiliki) merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan besarnya dukungan sosial dari lingkungan sekitar yang saya miliki. I am (Saya adalah) merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan dalam diri (didalamnya terdapat perasaan, sikap, dan keyakinan individu). I can (Saya bisa) merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan usaha yang dapat dilakukan oleh seseorang untuk memecahkan masalah menuju kekuatan diri (kemampuan menyelesaikan persoalan, keterampilan sosial dan interpersonal. Sumber daya resiliensi (4S), yaitu Supportive People, Strategy, Sagacity, Solution-seeking Behaviour. Identifikasi “Supportive People” yang jadi sandaran ketika Anda terpuruk. Identifikasi “Strategy” yang digunakan untuk membantu diri dalam atasi pemikiran atau perasaan negatif yang membuat diri sulit merespon permasalahan. Identifikasi “Sagacity” atau kebijaksanaan yang membuat anda dapat bertahan dari kesulitan dan melangkah maju. Identifikasi “Solution-seeking Behaviour” atau perilaku mencari bantuan yang pernah dilakukan untuk membantu menyelesaikan permasalahannya.

Kompetensi pengambilan keputusan yang bertanggung jawab dengan menggunakan teknik POOCH (Problems, Options, Outcomes, Choices). Problems dengan mengevaluasi situasi, Apa masalahnya? (harapan dan realita) Apa penyebabnya?. Options dengan menganalisis alternatif pilihan: Apa saja yang dapat dilakukan? Apakah ada pilihan yang berbeda?. Outcomes dan Choices dengan mempertimbangkan konsekuensi dari masing-masing pilihan itu terhadap diri sendiri dan orang lain.

Ruang lingkup implementasi pembelajaran sosial dan emosional terdiri dari kegiatan rutin, terintegrasi dalam pembelajaran, dan protokol. Kegiatan rutin adalah kegiatan yang dilakukan di luar waktu belajar akademik sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing, misal ekskul, perayaan hari besar, kegiatan sekolah, apel pagi, kerja bakti, senam bersama, kunjungan perpustakaan yang dijadwalkan, membaca bersama, seminar/ pelatihan. Terintegrasi dalam pembelajaran sebagai  strategi pembelajaran atau diintegrasikan dalam kurikulum (RPP). Sedang protokol berkaitan dengan budaya atau aturan sekolah yang sudah menjadi kesepakatan bersama dan diterapkan secara mandiri oleh murid atau sebagai kebijakan sekolah untuk merespon situasi atau kejadian tertentu. Misalnya, berdoa sebelum memulai kegiatan, menjaga ketenangan di ruang perpustakan, berdoa  di mushola sekolah dengan khidmat, dll. 

3 hal menarik yang telah saya pelajari adalah sebagai berikut:

  1. Membuat diri dalam keadaan kesadaran penuh (Mindfullness) dapat membuat kita fokus dalam beraktifitas.
  2. Salah satu teknik untuk membuat diri dalam kesadaran penuh (Mindfullness) adalah dengan teknik STOP (Stop, Take a deep breath, Observe, dan Proceed)
  3. Salah satu teknik yang dapat dilakukan dalam mengambil keputusan secara bertanggung jawab adalah dengan menggunakan teknik POOCH (Problem, Options, Outcome, Choice, dan How)

2 hal penting yang saya pelajari:

  • Untuk membuat diri berada pada kondisi kesadaran penuh (Mindfullness), kita bisa menggunakan teknik STOP (Stop, Take a deep breath, Observe, dan Proceed). Pada teknik ini, kita terlebih dahulu menghentikan aktifitas sejenak, kemudian menarik nafas dalam dan menghembuskannya sebanyak 2-3 kali. Pada saat bernafas, kita hendaknya merasakan udara yang masuk ke dalam hidung dan keluar dari hidung saat dihembuskan sambil mengamati perut yang mengembang saat bernafas dan mengempes saat menghembuskan nafas. Setelah itu, baru kembali melanjutkan aktifitas. Pelajaran ini penting agar kita senantiasa fokus dalam mengerjakan setiap aktifitas, sehingga kita dapat berpikir secara jernih dan tidak stres.
  • Pengambilan keputusan yang bertanggung jawab dengan teknik POOCH (Problem, Options, Outcome, Choice, dan How). Teknik ini penting dipelajari agar kita bisa mengambil keputusan secara tepat dan bisa dipertanggung jawabkan. Teknik ini diawali dengan mengidentifikasi masalah terlebih dahulu, kemudian membuat daftar pilihan-pilihan solusi yang bisa dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut serta mempertimbangkan segala dampak positif dan negatif dari setiap solusi itu. Setelah itu barulah mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dan memikirkan bagaimana cara melaksanakannya.

Satu hal yang ingin saya coba dan terapkan dalam kelas adalah saya akan mencoba teknik STOP di kelas sebelum memulai pelajaran atau sebelum murid mengerjakan soal latihan. Hal ini dilakukan agar murid bisa lebih fokus dalam belajar atau saat mengerjakan soal latihan.

Pada kegiatan demonstrasi kontekstual, saya mencoba mengintegrasikan kompetensi sosial-emosional (KSE) berbasis kesadaran penuh ke dalam RPP. Dalam hal ini kompetensi social dan emosional yang diintegrasikan adalah teknik mengelola emosi dan fokus serta melatih empati bagi murid.


 

Share:

Saturday, July 31, 2021

Catatan Akhir Pekan Guru Penggerak Part 12: Pembelajaran Sosial Emosional

Oleh: Jamaluddin Tahuddin

Pembelajaran Sosial dan Emosional adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional. Pembelajaran sosial dan emosional bertujuan untuk

  1. memberikan pemahaman, penghayatan dan kemampuan untuk mengelola emosi
  2. menetapkan dan mencapai tujuan positif
  3. merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain
  4. membangun dan mempertahankan hubungan yang positif serta
  5. membuat keputusan yang bertanggung jawab. 

Pembelajaran sosial dan emosional dapat diberikan dalam tiga ruang lingkup: 

  1. Kegiatan rutin:  kegiatan yang dilakukan di luar waktu belajar akademik. Misalnya, kegiatan membaca bersama, ekskul, perayaan hari besar, acara sekolah, apel pagi, kerja bakti, senam pagi bersama, seminar/pelatihan
  2. Terintegrasi dalam pembelajaran: sebagai  strategi pembelajaran atau diintegrasikan dalam kurikulum. Misalnya,  melakukan refleksi setelah menyelesaikan sebuah topik pembelajaran, membuat diskusi kasus atau kerja kelompok untuk memecahkan masalah, dll.
  3. Protokol: budaya atau aturan sekolah yang sudah menjadi kesepakatan bersama dan diterapkan secara mandiri oleh murid atau sebagai kebijakan sekolah untuk merespon situasi atau kejadian tertentu. Misalnya, menjaga ketenangan di ruang perpustakan, berdoa  di mushola sekolah dengan khidmat, dll.

Pembelajaran Sosial dan Emosional pada hakikatnya adalah pembelajaran yang mengkondisikan murid pada situasi dimana mereka mampu memahami, menghayati, dan mengelola emosi mereka sehingga mereka bisa memecahkan masalah yang dihadapi serta menumbuhkan sikap sosial pada diri murid sehingga mereka bisa merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain.

Penting bagi seorang guru untuk memahami dan menerapkan pembelajaran sosial dan emosional karena pembelajaran sosial dan emosional sangat dibutuhkan oleh murid untuk dapat bertahan dalam masalah sekaligus memiliki kemampuan memecahkannya. Selain itu pembelajaran sosial dan emosional juga dapat mengajarkan mereka menjadi orang yang baik, memberikan keseimbangan pada individu dan mengembangkan kompetensi personal yang dibutuhkan untuk dapat menjadi sukses.

Kompetensi sosial dan emosional mencakup: kesadaran diri, pengelolaan diri, pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, keterampilan relasi, dan kesadaran sosial. Adapun hal-hal yang sudah saya ketahui sebelumnya tentang 5 kompetensi sosial dan emosional adalah bahwa pembelajaran sosial dan emosional berupaya mengkondisikan murid agar mereka mampu memahami, menghayati, dan mengelola emosi mereka sehingga mereka bisa memecahkan masalah yang dihadapi serta menumbuhkan sikap sosial pada diri murid sehingga mereka bisa merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain. Hal baru yang diperoleh dari video yang ditayangkan di awal kegiatan eksplorasi konsep adalah bahwa bagaimana membuat murid memiliki kesadaran diri dan kesadaran sosial, serta mampu mengambil keputusan yang baik dan bertanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dan utama sebelum membahas mengenai konteks akademis dan keterampilan yang kita butuhkan dalam kehidupan. Sementara hal-hal yang ingin saya pelajari lebih lanjut adalah bagaimana cara membelajarkan sosial dan emosional bagi murid di kelas.

Mindfulness terbuka untuk semua orang tanpa terkecuali. Terlebih dengan adanya fakta bahwa kita hidup di lingkungan yang sangat sesak, dimana segala sesuatunya bergerak lebih cepat daripada kecepatan kita mencerna informasi. Mindfulness menyediakan cara bagi setiap orang untuk menikmati setiap momen dan memberikan rasa ketenangan, terlepas dari kenyataan bahwa kita hidup di lingkungan yang begitu padat. Kesadaran penuh (mindfulness) menurut Kabat - Zinn (dalam Hawkins, 2017, hal. 15) dapat diartikan sebagai kesadaran yang muncul ketika seseorang memberikan perhatian secara sengaja pada kondisi saat sekarang dilandasi rasa ingin tahu dan kebaikan (The awareness that arises when we pay attention, on purpose, in the present moment, with curiosity and kindness).

Ada beberapa kata kunci, yaitu: kesadaran (awareness), perhatian yang disengaja (on purpose), saat ini (present moment), rasa ingin tahu (curiosity), dan kebaikan (compassion). Artinya ada keterkaitan antara unsur pikiran (perhatian), kemauan (yang bertujuan), dan rasa (rasa ingin tahu dan kebaikan) pada kegiatan (fisik) yang sedang dilakukan.

Kesadaran penuh (mindfulness) muncul saat seorang sadar sepenuhnya pada apa yang sedang dikerjakan, atau dalam situasi yang menghendaki perhatian yang penuh. Misalnya, seorang anak yang terlihat asyik bermain peran dengan menggunakan boneka tanpa terganggu oleh suara sekitarnya, murid yang sedang memainkan musik, menikmati alur cerita dalam bacaan, menikmati segelas teh hangat, atau menikmati pemandangan matahari terbenam, atau guru yang sedang mendengarkan murid dengan penuh perhatian.  Intinya adalah adanya perhatian yang dilakukan secara sadar dengan dilandasi rasa ingin tahu dan kebaikan.

Salah satu fungsi latihan berkesadaran penuh adalah menumbuhkan perasaan yang lebih tenang dan pikiran yang lebih jernih, yang akan berpengaruh pada keputusan yang lebih responsif dan reflektif.

Latihan berkesadaran penuh (mindfulness) menjadi sangat relevan dan penting bagi siapapun untuk dapat menjalankan peran dan tanggung jawabnya dengan bahagia dan optimal. Ini termasuk bagi pendidik, murid bahkan juga untuk orangtua. Latihan tersebut sebenarnya sudah banyak diterapkan dalam pendidikan kita sejak lama. Misalnya, mengajak murid untuk hening dan berdoa sebelum memulai pelajaran, melakukan berbagai kegiatan literasi, mencintai alam, berolah-seni maupun berolahraga, dan lain sebagainya.

Dalam kondisi berkesadaran penuh, terjadi perubahan fisiologis seperti meluasnya area otak yang terutama berfungsi untuk belajar dan mengingat, berkurangnya stress, dan munculnya perasaan tenang dan stabil. Latihan berkesadaran penuh dapat menumbuhkan perasaan yang lebih tenang dan pikiran yang lebih jernih, yang akan berpengaruh pada keputusan yang lebih responsif dan reflektif. 90 % otak kita bekerja dalam keadaan tdk sadar. Lobus frontal adalah bahian depan otak yg memproses emosi, membantu manusia merespon meski kewalahan, meresap emosi orang lain yg menimbulkan empati dan insight. Frontal lobe ini akan berkembang dengan melakukan mindfulness. Sedangkan bagian otak amigdala bekerja dominan jika kita merasa kuatir, stres atau putus asa. Latihan berkesadaran penuh (mindfulness) menjadi sangat relevan dan penting bagi siapapun untuk dapat menjalankan peran dan tanggung jawabnya dengan bahagia dan optimal. Ini termasuk bagi pendidik, murid bahkan juga untuk orangtua. Latihan tersebut sebenarnya sudah banyak diterapkan dalam pendidikan kita sejak lama. Latihan berkesadaran penuh (mindfulness) sangat bermanfaat terutama bagi guru dalam menghadapi suatu situasi sosial yang menantang dalam menjalankan peran sebagai pendidik. Misalnya, mengajak murid untuk hening dan berdoa sebelum memulai pelajaran, melakukan berbagai kegiatan literasi, mencintai alam, berolah-seni maupun berolahraga, dan lain sebagainya. 

Dengan demikian, murid dapat merasa lebih tenang dan pikiran yang lebih jernih, yang akan berpengaruh pada keputusan yang lebih responsif dan reflektif. Intinya mindfulness dapat membantu murid dalam proses pembelajaran.

Kesadaran penuh (mindfulness) dapat dilatih dan ditumbuhkan melalui berbagai kegiatan. Artinya, kita dapat melatih kemampuan untuk memberikan perhatian yang berkualitas pada apa yang kita lakukan. Kegiatan-kegiatan seperti latihan menyadari nafas (mindful breathing); latihan bergerak sadar (mindful movement), yaitu bergerak  yang disertai kesadaran  tentang intensi dan tujuan gerakan; latihan berjalan sadar (mindful walking) dengan menyadari  gerakan tubuh saat berjalan, dan berbagai kegiatan sehari-hari  yang mengasah indera (sharpening the senses) dengan melibatkan mata, telinga, hidung, indera perasa, sensori di ujung jari, dan sensori peraba kita.  Kegiatan-kegiatan di atas seperti bernapas dengan sadar, bergerak dengan sadar, berjalan dengan sadar dan menyadari seluruh tubuh dengan sadar dapat diawali dengan cara yang paling sederhana yaitu dengan menyadari nafas. 

Mengapa penting untuk menyadari nafas?  Karena napas adalah jangkar yang dimiliki setiap orang untuk berada  di sini dan masa sekarang (here and now). Pikiran kita merupakan bagian diri kita yang seringkali sulit dikendalikan. Seorang ilmuwan dan filsuf bernama Deepak Chopra dalam website pribadinya menyebutkan bahwa manusia memiliki 60.000-80.000 pikiran dalam sehari. Bayangkan betapa sibuknya pikiran kita. Karena sangat cair, pikiran dapat bergerak ke masa depan dan menimbulkan perasaan kuatir. Pikiran juga dapat bergerak  ke masa lalu yang seringkali menimbulkan perasaan menyesal. Pikiran berada dalam situasi terbaiknya jika ia fokus  situasi saat ini dan masa sekarang,  Cara termudah  untuk membuat pikiran dan perasaan Anda berada pada saat ini  dan masa sekarang adalah dengan menyadari nafas. 

Setelah menonton video latihan pernapasan STOP, langkah-langkah yang dapat dilakukan dengan mudah untuk berada dalam kondisi kesadaran penuh (mindfulness). Teknik sederhana ini disebut Teknik STOP. STOP merupakan akronim dari:

  • Stop/ Berhenti. Hentikan apapun yang sedang Anda lakukan.
  • Take a deep Breath/ Tarik nafas dalam. Sadari napas masuk, sadari napas keluar. Rasakan udara segar yang masuk melalui hidung. Rasakan udara hangat yang keluar dari lubang hidung. Lakukan 2-3 kali. Napas masuk, napas keluar.
  • Observe/ Amati. Amati apa yang Anda rasakan pada tubuh Anda? Amati perut yang mengembang sebelum membuang napas. Amati perut yang mengempes saat Anda membuang napas. Amati pilihan-pilihan yang dapat Anda lakukan.
  • Proceed/ Lanjutkan. Latihan selesai. Silahkan lanjutkan kembali aktivitas Anda dengan perasaan yang lebih tenang, pikiran yang lebih jernih, dan sikap yang lebih positif.

Berbagai kegiatan berbasis kesadaran penuh (mindfulness) dalam sehari-hari memungkinkan seseorang membangun kesadaran penuh untuk dapat memberikan perhatian secara sadar bertujuan yang didasarkan  keterbukaan pikiran, rasa ingin tahu dan kebaikan yang akan membantu seseorang dalam menghadapi situasi-situasi menantang dan sulit.  Secara saintifik, latihan mindfulness  yang konsisten akan memperkuat hubungan sel-sel saraf (neuron) otak yang berhubungan dengan fokus, konsentrasi, dan kesadaran. Seseorang yang memiliki kesadaran diri cenderung akan lebih menghargai perbedaan dan memiliki rasa empati terhadap orang lain sehingga ia akan lebih memahami diri dan orang lain. Dengan demikian ia akan mampu menghadapi tantangan dan perspektif yang berbeda-beda dari orang lain yang lebih dikenal dengan sebutan resiliensi. Ia juga akan mampu mengambil keputusan yang bertanggung jawab hingga akhirnya ia akan memperoleh kesejahteraan hidup yang membawanya pada kebahagiaan.

Diberikan 5 kasus terkait situasi sosial yang membutuhkan penerapan berbagai kompetensi sosial-emosional. Dalam kasus 1, bisa jadi Ibu Adriana marah karena merasa tidak dihargai saat salah satu murid tidak melakukan instruksinya. Tapi dalam kasus yang lain, bisa juga sebetulnya yang dirasakan Ibu Adriana adalah perasaan kewalahan. Yang jika kita lihat ke dalam gambar roda emosi, kewalahan adalah ekspresi emosi takut. Jadi alih-alih Ibu Adriana marah, dia sebetulnya sedang  mengekspresikan perasaan takutnya.

Dalam kondisi itu, ibu Adriana hendaknya memiliki kesadaran penuh (mindfullness) sehingga ia bisa merasa lebih tenang dan pikiran yang lebih jernih sehingga bisa mengambil keputusan yang lebih responsif dan reflektif. Dengan demikian, ia tidak perlu memarahi Diana sampai membuatnya malu di depan teman-temannya yang lain.

Dalam kasus 2, ibu Adriana dihadapkan pada situasi dimana ia harus menyelesaikan beberapa tugas secara bersamaan. Ia harus memastikan semua perencanaan, pengaturan personil, dan pengaturan anggaran sudah tepat. Tugas-tugas yang ia kerjakan secara bersamaan membuat pikirannya beralih sehingga tidak lagi fokus dan lupa menyiapkan rubrik untuk pembelajaran geografi keesokan harinya. 

Mengerjakan beberapa tugas secara bersamaan membuat pikiran kita beralih dari satu fokus ke fokus yang lain. Tubuh menjadi lelah dan hasil pekerjaan kita cenderung tidak optimal. Dengan banyaknya tugas dan gangguan yang ada di sekeliling kita, kemampuan mengelola fokus menjadi kemampuan yang sangat penting.

Dalam kondisi itu, ibu Adriana dapat melakukan latihan STOP untuk mengembalikan pikirannya agar kembali fokus pada tugas yang lebih prioritas. Selain itu, latihan ini juga penting untuk mencegah ibu Adriana dari rasa stres dan ketegangan akibat tugas yang banyak. Latihan ini bisa membuat ibu Adriana berpikir dan berbuat dengan kesadaran penuh (mindfullness) sehingga ia bisa menyadari tugas yang lebih prioritas.

Pada kasus 3, pada saat ibu Adriana sedang memanggil murid atlet karena tidak mengumpulkan tugas, maka di saat itu, di tempat itu, situasi yang sesungguhnya sedang berlangsung. Ibu Adriana dapat mengesampingkan sejenak situasi kelas, atau masalah dalam kepanitiaan. Ibu Adriana dengan kesadaran penuh betul-betul sadar dan fokus pada situasi si murid. Dia dapat mulai memahami situasi yang dihadapi si murid. Saat si murid bercerita, maka seluruh indera Ibu Adriana pun tercurah pada situasi saat itu. Mata, telinga, seluruh tubuh Ibu Adriana memang sedang berhadapan dengan si murid atlet yang sedang menceritakan masalahnya. 

Dengan melakukan teknik STOP, Ibu Adriana berada dalam kondisi rileks sehingga membantunya untuk lebih mudah mencerna dan tetap tenang menanggapi tanpa penghakiman. Si murid atlet mungkin akan tetap menghadapi jadwal latihannya yang padat ditambah tuntutan akademik yang tidak ringan, tetapi dia akan merasa jauh lebih baik menyadari ada Ibu Adriana yang mau betul-betul mendengarkan. 

Saat murid diterima secara penuh, maka dia pun akan belajar untuk menerima dan memahami orang lain dengan lebih mudah. Si murid atlet belajar bagaimana menanggapi secara positif masalah orang lain melalui pengalamannya bersama Ibu Adriana. Tanpa sadar Ibu Adriana sedang mengajarkan keterampilan berempati dengan cara mencontohkannya langsung.

Dalam kasus 4, saat kepala sekolah meminta untuk mengembalikan rencana perayaan hari kemerdekaan ke rencana semula. Ibu Adriana yang sudah merasa kewalahan dan stres menghadapi permasalahan sehari-hari menjadi semakin tertekan. Sudah tergambar dalam benak Ibu Adriana, bagaimana rencana yang sudah tersusun tiba-tiba harus diubah semua. Bayangan bahwa ini akan mengubah semua yang telah disiapkan dan dilakukan membuat Ibu Adriana tidak mampu berpikir jernih. Di saat seperti itu, Ibu Adriana seperti tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi apalagi untuk mengubah proposal kegiatannya. Dia meninggalkan kantor kepala sekolah tanpa mampu menjelaskan situasi, dan pergi ke ruang wakil panitia untuk memberikan tugas merevisi proposal yang seharusnya menjadi tugasnya. 

Di saat seperti inilah, Ibu Adriana perlu mengembalikan dirinya dalam kesadaran penuh. Teknik STOP dapat membantunya bersikap lebih responsif terhadap situasi. Teknik ini bahkan dapat dilakukan saat Ibu Adriana masih berada di depan kepala sekolah. Saat tenang dan berkesadaran penuh, Ibu Adriana lebih dapat mengungkapkan situasi dan kondisi di lapangan yang menyebabkan beberapa hal perlu diputuskan seperti yang ada dalam proposal. Dengan demikian, Ibu Adriana mampu dengan jelas dan terstruktur menjelaskan dengan gamblang, sehingga bisa jadi kepala sekolah menerima atau paling tidak memahami situasi dan tidak memaksakan untuk kembali ke rencana awal.

Pada kasus 5, Ibu Adriana merasa bahwa kinerjanya setelah beberapa tahun bekerja menjadi guru di sekolah tersebut semakin menurun. Dia pun berniat untuk menulis surat pengunduran diri. Dengan menggunakan kerangka POOCH, ibu Adriana bisa menganalisis permasalahannya sebelum mengambil keputusan. 

PROBLEM / MASALAH 

Realita yang dihadapi ibu Adriana adalah bahwa ia kurang bisa membagi waktu antara tugas mengajar dan mengerjakan tugas tambahan  dari kepala sekolah. Ia berharap bisa terampil dalam membagi waktu antara tugas mengajar dan mengerjakan tugas tambahan dari kepala sekolah

Setelah dianalisis, ternyata masalah yang dihadapi ibu Adriana disebabkan karena ia belum mampu menentukan prioritas, ingin semua ada dalam kendali diri, belum memiliki keterampilan komunikasi untuk meminta bantuan, dan belum memiliki keterampilan komunikasi asertif untuk menolak tugas yang terus diberikan.

OPTION / ALTERNATIF PILIHAN 

Beberapa alternatif pilihan yang dapat dilakukan ibu Adriana adalah sebagai berikut:

  1. Mencari informasi tentang membuat skala prioritas (berkonsultasi dengan rekan, teman, atasan, belajar dari internet) 
  2. Belajar percaya dengan  mendelegasikan tugas kepada orang lain 
  3. Belajar mengembangkan kemampuan komunikasi umum maupun asertif terhadap kepala sekolah.

OUTCOMES/ HASIL atau KONSEKUENSI 

Jika ia memilih opsi  yang pertama, maka ia harus menyediakan waktu lebih banyak dan kemauan untuk belajar dan berkurang waktu untuk bersosialisasi dengan orang lain (keluarga, teman). Tapi positifnya, ia dapat menentukan dan mengelola prioritas sehingga berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Jika ia memilih opsi yang kedua, ia harus meluangkan waktu untuk mengcoach rekan lain, orang lain mungkin merasa mendapatkan tambahan beban kerja, kemungkinan hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasi diri. Tapi keuntungannya, ia bisa membangun tim kerja  yang lebih solid dan professional. Sementara jika ia memilih opsi yang ketiga, kemungkinan terjadi kesalahpahaman atau konflik dengan rekan atau atasan. Tapi positifnya, ia bisa mengembangkan kompetensi diri sehingga kinerjanya dapat meningkat, kontribusi yang lebih besar untuk sekolah.

CHOICES/ PILIHAN KEPUTUSAN 

Setelah dipertimbangkan konsekuensi yang ada, maka ia akan mengambil pilihan untuk belajar mengembangkan keterampilan menentukan prioritas karena itu akan memberikan dampak pada kualitas pengajaran dan pengelolaan tugas tambahan di masa mendatang. 

REFLEKSI 

Pilihan yang diambil perlu terus direfleksikan untuk mengetahui efektivitasnya. Jika tidak efektif, maka  ulangi proses dari kerangka POOCH ini.

Penerapan pembelajaran kompetensi sosial dan emosional dapat dilakukan dalam 3 ruang lingkup, yaitu ruang lingkup rutin, terintegrasi dalam mata pelajaran, dan protokol yang mencakup budaya atau tata tertib.

Setelah mempelajari penerapan 5 (lima) kompetensi sosial-emosional berbasis kesadaran penuh, saya merasa senang karena saya bisa mengetahui cara mengontrol emosi sekaligus melatih kesadaran penuh (mindfullness). Hal baru yang saya pelajari adalah bagaimana cara melatih kesadaran penuh (mindfullness) dengan  latihan menyadari nafas (mindful breathing); latihan bergerak sadar (mindful movement), yaitu bergerak  yang disertai kesadaran  tentang intensi dan tujuan gerakan; latihan berjalan sadar (mindful walking) dengan menyadari  gerakan tubuh saat berjalan, dan berbagai kegiatan sehari-hari  yang mengasah indera (sharpening the senses) dengan melibatkan mata, telinga, hidung, indera perasa, sensori di ujung jari, dan sensori peraba kita. 

Penerapan kompetensi sosial-emosional berbasis kesadaran penuh yang dapat saya terapkan sebagai pendidik adalah mengajak murid untuk hening dan berdoa sebelum memulai pelajaran, melatih murid berkesadaran penuh (mindfullness) dengan metode STOP, melatih empati bagi murid, dan melatih murid mengambil keputusan yang bertanggung jawab dengan teknik POOCH.


Share:

Saturday, July 24, 2021

Catatan Akhir Pekan Guru Penggerak Part 11: Pembelajaran Berdasarkan Profil Belajar Murid

Oleh: Jamaluddin Tahuddin

Pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid. Keputusan-keputusan yang dibuat tersebut adalah yang terkait dengan lingkungan belajar yang “mengundang’ murid untuk belajar, tujuan pembelajaran yang didefinisikan secara jelas, penilaian berkelanjutan, merespon kebutuhan belajar murid, dan manajemen kelas yang efektif. Pembelajaran berdiferensiasi dapat menjadi solusi terhadap permasalahan kemampuan murid yang variatif dalam menerima pelajaran di kelas. Hal ini disebabkan karena murid berbeda dalam hal kesiapan, minat, dan profil belajar. Dalam hal kesiapan belajar, murid tentu memiliki pengetahuan awal yang berbeda sebelum siap menerima pelajaran atau informasi yang baru. Apalagi dalam hal minat, tentunya minat murid berbeda-beda. Ada yang berminat dalam pelajaran olahraga, seni, matematika, IPA, dan lain sebagainya. Sekalipun tak dapat dipungkiri bahwa ada juga murid yang memang meminati hampir seluruh mata pelajaran. Akan tetapi, kemampuan murid dalam menerima pelajaran juga sangat dipengaruhi oleh gaya belajar mereka. Di antara murid tentu ada yang gaya belajarnya visual, auditori, dan ada yang kinestetik.

Strategi pembelajaran berdiferensiasi terdiri dari diferensiasi konten, proses, dan produk. Diferensiasi konten terkait penyesuaian materi dan bahan ajar berdasarkan kebutuhan belajar murid. Diferensiasi proses terkait penyesuaian layanan dalam membantu murid memahami materi dan bahan ajar yang diberikan. Diferensiasi produk terkait penyesuaian produk yang dihasilkan sebagai wujud pemahaman murid terhadap materi dan bahan ajar yang diberikan. Sekalipun demikian, pembelajaran berdiferensiasi juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan belajar. Lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran berdiferensiasi adalah lingkungan belajar yang didasari oleh konsep komunitas belajar dimana semua anggotanya adalah pembelajar.

Berdasarkan filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara, pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru hendaknya berpihak pada murid. Murid hendaknya terlibat bukan hanya pada saat pelaksanaan pembelajaran, melainkan juga dilibatkan pada saat perencanaan pembelajaran. Hal ini dilakukan agar pembelajaran betul-betul bisa terlaksana sesuai kodrat anak. Tidak hanya itu, pembelajaran yang dilakukan guru hendaknya bisa menuntun mereka dalam mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia, maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, pembelajaran berdiferensiasi sangat sejalan dengan konsep pendidikan Ki hajar Dewantara. Pembelajaran berdiferensiasi sangat mengedepankan kodrat anak. Pembelajaran dirancang sedemikian rupa agar mampu memenuhi kebutuhan belajar murid. Dengan demikian, akan terjadi koneksi antara kodrat anak dengan tujuan pembelajaran.

Minat, profil, dan kesiapan belajar murid yang beraneka ragam tentunya sulit terakomodasi semuanya dalam setiap pembelajaran. Oleh karena itu, guru tentunya membutuhkan strategi jitu agar pembelajaran bisa disesuaikan dengan minat, profil, dan kesiapan belajar semua murid.

Sebagai aksi nyata dari pembelajaran berdiferensiasi, saya melaksanakan rencana pembelajaran yang telah dirancang sebelumnya. Setelah melakukan tes diagnostik untuk mengetahui profil belajar murid. Berdasarkan tes diagnostik itu, diperoleh murid memiliki keragaman dalam hal gaya belajar. Gaya belajar murid terdiri dari auditori, visual, dan kinestetik. Oleh karena itu rencana pembelajaran dirancang sedemikian sehingga bisa mendiferensiasi berdasarkan gaya belajar murid tersebut. Gaya belajar auditori dan visual didiferensiasi dengan menggunakan media video pembelajaran, sedangkan gaya belajar kinestetik dengan permainan membandingkan bilangan bulat.

Kegiatan pada pekan ke-11 diakhiri dengan tahapan mulai dari diri untuk modul 2.2 pembelajaran social dan emosional. Pada tahapan ini, kita diminta melakukan refleksi terkait pengalaman yang pernah didapatkan sebagai pendidik, saat berada dalam situasi yang menuntut kita untuk dapat mengelola emosi. Dimana saat itu saya sedang mengajar di kelas, tiba-tiba seorang murid berdiri dan berjalan keluar kelas tanpa meminta ijin terlebih dahulu. Karena lama saya menunggu dan ia tak kunjung kembali ke kelas, maka saya keluar mencarinya. Ternyata ia sedang makan di kantin, padahal awalnya saya mengira dia cuma ke kamar kecil untuk buang air. 

Saat itu, saya sangat kesal dan serasa ingin sekali menampar mukanya karena saya merasa tidak dihargai sebagai guru yang sedang mengajar di kelasnya. Akan tetapi, saat itu saya berpikir sejenak bahwa mungkin ia tidak sarapan dari rumah sehingga tak mampu lagi menahan lapar. Jadi, saya minta ia menghadap saya di ruang guru setelah menghabiskan makanannya. Setelah selesai makan, murid itu pun menghadap saya di ruang guru kemudian saya tanya kenapa ia meninggalkan kelas tanpa minta ijin terlebih dahulu. Ternyata betul dugaanku bahwa ia tak sempat sarapan dari rumah karena takut terlambat dan tidak minta ijin sama saya karena takut tidak diijinkan atau dimarahi. Saya pun memaafkannya setelah ia berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Setelah kejadian itu, saya sampaikan kepada murid di kelas untuk meminta ijin sama guru jika ingin meninggalkan kelas termasuk jika lapar dan ingin makan di kantin. Bahkan bagi yang membawa makanan dan minuman, saya persilahkan mereka makan atau minum pada saat belajar di kelas jika mereka lapar atau haus. Sekalipun kenyataannya mereka enggan melakukannya karena merasa segan.

Setelah kejadian itu, tak ada lagi murid yang keluar tanpa ijin dan kedapatan makan di kantin saat pelajaran berlangsung di kelasnya. Sehingga saya merasa bahwa apa yang saya lakukan cukup efektif untuk menangani situasi seperti di atas. Mungkin karena mereka merasa dihargai, dimengerti dan diperhatikan. Mereka bahkan segan untuk makan atau minum di kelas padahal saya sudah persilahkan jika mereka haus atau lapar.

Selain itu, kita juga diminta merefleksi kembali saat berada dalam situasi menantang saat berhubungan dengan murid-murid. Dimana suatu ketika, pada saat saya sedang menjelaskan di depan kelas. Seorang anak tiba-tiba berdiri dan bertanya apa itu bilangan rasional. Seketika saya merasa kaget dan sempat merasa kuatir tidak bisa menjawabnya karena saat itu saya lupa definisi bilangan rasional. Tapi saya mencoba untuk tetap tenang dan berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaktahuan saya di depan murid sambil duduk di kursi guru. Sambil mengingat ingat kembali definisi bilangan rasional, saya mempersilahkan murid yang lain yang ingin menyampaikan pendapat tentang bilangan rasional. Ternyata tak ada satupun juga murid yang bisa memberikan jawabannya. Tapi, untunglah karena saya bisa ingat kembali definisi bilangan rasional dan menjelaskannya di depan kelas.

Menurutku, apa yang saya lakukan tersebut cukup efektif karena saya berhasil tetap tenang sekalipun dalam situasi yang sempat dan nyaris mencemaskan. Selain itu, cara tersebut juga berhasil menjaga kepercayaan murid terhadap guru sebagai salah satu sumber belajar.

Diberikan beragam kegiatan belajar dan mengajar di kelas maupun lingkup sekolah, kita diminta memberi tanda cek (√) pada kegiatan yang sudah pernah dilakukan di kelas maupun di sekolah. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah Memulai kegiatan setiap hari dengan kesadaran akan tujuan yang jelas, Memberikan kesempatan pada murid untuk merefleksi proses pembelajaran yang sudah diikuti (apa yang disukai/mudah/menantang/ingin dipelajari lebih lanjut sebelum melanjutkan pembelajaran berikutnya), Mendengarkan penjelasan murid yang dilaporkan terlibat dalam perilaku indisipliner dengan sikap empati dan hormat, Memfasilitasi murid untuk duduk berdialog dalam menyelesaikan konflik, Berpartisipasi dalam kegiatan komunitas atas inisiatif sendiri, dan Melibatkan murid dalam membuat kesepakatan kelas agar kelas aman dan nyaman. Motivasi saya dalam melakukan kegiatan tersebut di atas adalah sebagai berikut:

  • Tujuan yang jelas bisa membuat kegiatan lebih terarah
  • Refleksi murid bisa menjadi bahan evaluasi terhadap pembelajaran yang telah dilakukan sekaligus menjadi umpan balik dari murid terhadap hal yang perlu diperbaiki dan apa yang dibutuhkan oleh mereka.
  • Penting mendengarkan penjelasan dari murid yang terlibat perilaku indisipliner agar kita mengetahui latar belakang masalahnya sehingga bisa memikirkan solusi pemecahannya.
  • Biasanya solusi yang ditawarkan murid mampu menyelesaikan konflik karena yang tahu persis akar permasalahannya adalah murid. Sehingga tidaklah mengherankan jika mereka lebih mengetahui cara menyelesaikannya.
  • Berpartisipasi dalam kegiatan komunitas atas inisiatif sendiri karena banyak hal bisa dipelajari dari anggota komunitas yang lain dan masalah yang tak bisa diselesaikan sendiri bisa diselesaikan di komunitas.
  • Murid harus dilibatkan dalam membuat kesepakatan kelas untuk menumbuhkan kesadaran dan budaya positif di kelas. Kesepakatan kelas yang dibuat bersama murid akan meminimalkan keinginan murid untuk melanggar kesepakatan tersebut karena merasa ikut memiliki.

Hanya saja sejauh ini beberapa kegiatan tersebut belum bisa dilakukan secara konsisten karena dibatasi oleh waktu dan kadang dihadapkan pada situasi yang bersamaan dengan kegiatan lain sehingga tidak bisa terlaksana. Saya berharap setelah mempelajari modul pembelajaran sosial dan emosional ini, saya bisa menumbuhkan rasa empati terhadap murid dan bisa meningkatkan kecerdasan emosional. Selain itu,  saya juga berharap murid bisa lebih senang dan bahagia bersama gurunya.


Share:

Saturday, July 17, 2021

Catatan Akhir Pekan Guru Penggerak Part 10: Rencana Pembelajaran Berdiferensiasi

Oleh: Jamaluddin Tahuddin

Menurut Tomlinson (2001), pada pembelajaran yang baik murid akan melakukan aktivitas atau membuat sesuatu dengan  menggunakan keterampilan penting dan informasi penting untuk  memahami  ide/ prinsip penting  atau menjawab  pertanyaan penting. Sedangkan pada pembelajaran  berdiferensiasi yang baik, murid akan melakukan aktivitas atau membuat sesuatu dalam  berbagai  moda dan pada berbagai tingkat kerumitan, serta dalam  berbagai  rentang waktu; dengan jumlah  dukungan dari guru atau teman sebaya yang bervariasi (scaffolding); serta menggunakan keterampilan penting dan informasi penting untuk memahami ide/ prinsip penting  atau menjawab  pertanyaan penting.

Pada modul ini, saya juga ditugaskan membuat rencana pembelajaran untuk salah satu mata pelajaran atau sesi pembelajaran dalam konteks pembelajaran daring (online learning). Rencana pembelajaran tersebut dibuat dengan menganalisis kebutuhan belajar murid terlebih dahulu. Kemudian mengidentifikasi minimal satu strategi diferensiasi konten, proses atau produk dengan memperhatikan rubrik penilaian rencana pembelajaran. Setelah itu, kita diminta untuk memposting RPP tersebut di forum diskusi. Disarankan pula menggunakan rubrik penilaian rencana pembelajaran dalam memberikan umpan balik terhadap RPP yang dibuat oleh rekan yang lain.

Berdasarkan rubrik penilaian yang digunakan, rencana pembelajaran yang telah dibuat rekan-rekan calon guru Penggerak sudah mendiferensiasi kebutuhan murid. Ada yang mendiferensiasi berdasarkan kesiapan belajar murid, ada juga yang berdasarkan minat belajarnya, tapi ada juga yang mendiferensiasi berdasarkan profil belajar murid.

Selanjutnya adalah tahap kegiatan elaborasi pemahaman bersama instruktur Aquila Carol Adimurti. Namun sebelumnya, kita diarahkan untuk membaca artikel 7 Alasan Mengapa Pembelajaran Berdiferensiasi Dapat Berhasil terlebih dahulu. Artikel ini merupakan terjemahan bebas dari artikel yang dipublikasikan melalui website https://inservice.ascd.org/7-reasons-why-differentiated-instruction-works/). Artikel ini membahas tentang Pembelajaran Berdiferensiasi (Diferentiated Instruction/ DI). Pembelajaran Berdiferensiasi adalah bersifat proaktif. Dimana dalam kelas, guru akan berasumsi bahwa murid yang berbeda memiliki kebutuhan yang berbeda dan secara proaktif merencanakan pembelajaran yang menyediakan berbagai cara untuk "mencapai" dan mengekspresikan pembelajaran. Guru mungkin masih perlu menyempurnakan pembelajaran untuk beberapa murid, tetapi karena guru tahu beragam kebutuhan muridnya di dalam kelas dan memilih opsi pembelajaran yang sesuai, maka kemungkinan besar pengalaman belajar yang mereka rancang akan cocok untuk sebagian besar murid. Diferensiasi yang efektif biasanya dirancang agar cukup kuat untuk melibatkan dan menantang beragam murid di kelas.  

Pembelajaran Berdiferensiasi lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif. Banyak guru secara salah berasumsi bahwa mendiferensiasi pembelajaran berarti memberi beberapa murid lebih banyak pekerjaan untuk dilakukan, dan yang lainnya lebih sedikit. Misalnya, seorang guru memberikan murid, yang memiliki kemampuan membaca yang lebih tinggi, tugas untuk membuat dua buah laporan buku, sementara murid yang kemampuannya lebih rendah hanya satu laporan saja. Atau seorang murid yang kesulitan dalam pelajaran matematika hanya diharuskan menyelesaikan tugas hitungan atau operasi bilangan, sementara murid yang lebih tinggi kemampuan diminta menyelesaikan tugas hitungan dan ditambah dengan soal-soal cerita. Meskipun pendekatan diferensiasi seperti itu mungkin tampak masuk akal, namun yang seperti itu biasanya tidak efektif. Membuat laporan tentang satu buku bisa saja tetap akan dirasa sebagai tuntutan yang tinggi untuk murid yang memang kesulitan.  Seorang murid yang telah menunjukkan penguasaan satu keterampilan matematika akan siap untuk mulai bekerja dengan keterampilan yang lebih sulit. Menyesuaikan jumlah tugas biasanya akan kurang efektif daripada mengubah sifat tugas.  

Pembelajaran Berdiferensiasi berakar pada penilaian. Guru yang memahami bahwa pendekatan belajar mengajar harus sesuai dengan kebutuhan murid, akan mencari setiap kesempatan untuk mengenal murid mereka dengan lebih baik. Mereka melihat percakapan individu, diskusi kelas, pekerjaan murid, observasi, dan penilaian formal sebagai cara untuk terus mendapatkan wawasan tentang apa yang paling berhasil untuk setiap muridnya. Apa yang mereka pelajari akan menjadi katalis untuk menyusun dan merancang pembelajaran dengan cara-cara yang membantu setiap murid memaksimalkan potensi dan bakatnya.  Di dalam pembelajaran berdiferensiasi, penilaian tidak lagi didominasi sesuatu yang terjadi pada akhir unit untuk menentukan "siapa yang mendapatkannya." Pra-penilaian diagnostik secara rutin akan dilakukan saat unit dimulai. Di sepanjang unit pembelajaran, guru menilai tingkat kesiapan, minat, dan pendekatan belajar yang digunakan murid dan kemudian merancang pengalaman belajar berdasarkan pemahaman terbaru dan terbaik tentang kebutuhan murid. Produk akhir, atau cara lain dari penilaian "akhir" atau sumatif, akan mengambil berbagai bentuk, dengan tujuan untuk menemukan cara terbaik bagi setiap murid untuk menunjukkan hasil belajarnya selama unit tersebut berlangsung.  

Pembelajaran Berdiferensiasi menggunakan beberapa pendekatan terhadap konten, proses, dan produk. Di semua ruang kelas, guru berurusan dengan setidaknya tiga elemen kurikuler: (1) konten — masukan, apa yang dipelajari murid; (2) proses — bagaimana murid berupaya memahami ide dan informasi; dan (3) produk — keluaran, atau bagaimana murid menunjukkan apa yang telah mereka pelajari.  

Pada kegiatan elaborasi pemahaman bersama instruktur, diperoleh bahwa setiap murid belajar dengan gaya, arah, dan kecepatannya masing-masing. Falsafah  pendidikan  KHD, belajar sesuai  kodrat  murid,  anak  per anak tidak  sama. Pendidikan sejatinya  tidaklah  seragam dan tidak  untuk menyeragamkan, namun  untuk merawat  dan merayakan keberagaman. Belajar pada  hakikatnya  bersifat  pribadi. Setiap  anak belajar dengan  gaya dan temponya masing-masing. Sekolah kini hadir bukan lagi  untuk memproduksi keseragaman dan memproduksi secara massal. Secara singkat langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi adalah dengan menentukan tujuan belajar terlebih dahulu, kemudian mengenali keragaman kebutuhan di kelas, lalu merancang strategi/ alat penilaian, dan terakhir merancang kegiatan pembelajaran.

RPP ada untuk membantu guru  mewadahl proses belajar dengan efektif,  bukan  prasyarat mengajar atau adminlstrasl penyerta. RPP terbangun dari 3 hal: tujuan belajar (mengapa pembelajaran dilakukan),  asesmen belajar  (bagaimana  mengukur ketercapaian tujuan), dan kegiatan belajar (apa saja  yang dilakukan untuk mencapai tujuan).  Ketiganya dikemas dalam bentuk yang nyaman dan  efektif. RPP adalah karya kreatif  dan dinamis buatan maslng-masing  guru, bukan lembar tata  laksana  yang seragam dan tak boleh berubah. 

Dari modul ini saya mendapatkan pelajaran bahwa pembelajaran berdiferensiasi dapat menjadi solusi terhadap permasalahan kemampuan murid yang variatif dalam menerima pelajaran di kelas. Hal ini disebabkan karena murid berbeda dalam hal kesiapan, minat, dan profil belajar. Dalam hal kesiapan belajar, murid tentu memiliki pengetahuan awal yang berbeda sebelum siap menerima pelajaran atau informasi yang baru. Apalagi dalam hal minat, tentunya minat murid berbeda-beda. Ada yang berminat dalam pelajaran olahraga, seni, matematika, IPA, dan lain sebagainya. Sekalipun tak dapat dipungkiri bahwa ada juga murid yang memang meminati hampir seluruh mata pelajaran. Akan tetapi, kemampuan murid dalam menerima pelajaran juga sangat dipengaruhi oleh gaya belajar mereka. Di antara murid tentu ada yang gaya belajarnya visual, auditori, dan ada yang kinestetik.

Strategi pembelajaran berdiferensiasi terdiri dari diferensiasi konten, proses, dan produk. Diferensiasi konten terkait penyesuaian materi dan bahan ajar berdasarkan kebutuhan belajar murid. Diferensiasi proses terkait penyesuaian layanan dalam membantu murid memahami materi dan bahan ajar yang diberikan. Diferensiasi produk terkait penyesuaian produk yang dihasilkan sebagai wujud pemahaman murid terhadap materi dan bahan ajar yang diberikan. Sekalipun demikian, pembelajaran berdiferensiasi juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan belajar. Lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran berdiferensiasi adalah lingkungan belajar yang didasari oleh konsep komunitas belajar dimana semua anggotanya adalah pembelajar.

Pembelajaran yang berdiferensiasi tidak hanya membutuhkan penyesuaian terhadap konten saja, melainkan harus juga ada penyesuaian proses dan produk terhadap kebutuhan belajar murid. Akan tetapi, diferensiasi konten yang didasarkan pada aspek kesiapan belajar murid akan menjadi sulit diimplementasikan secara maksimal. Hal ini disebabkan karena terkadang masih banyak murid yang belum tuntas pada materi sebelumnya dan merupakan materi prasyarat. Sementara materi ajar telah tersusun rapi dalam KI/KD yang tercantum dalam kurikulum. Kalaupun dilakukan penyesuaian materi dengan kesiapan belajar murid, tentunya tetap mengikuti materi dasar yang sudah tercantum dalam kurikulum. Namun demikian, guru tetap harus melakukan pembelajaran yang disesuaikan dengan kesiapan belajar murid sekalipun dengan melakukannya di luar jam pelajaran di kelas ataupun melalui pendampingan individual.

Sekiranya saya menghadapi sebuah situasi, dimana kebutuhan belajar siswa tidak dapat diakomodasi oleh pembelajaran berdiferensiasi maka saya akan melakukan modifikasi terhadap pembelajaran yang saya lakukan sekalipun tidak sesuai dengan sistem yang ada. Karena pembelajaran harus berpihak pada murid, bukan berpihak pada sistem yang berlaku. Dalam hal pembelajaran, kebutuhan murid menjadi prioritas paling utama.


Share:

Saturday, July 10, 2021

Catatan Akhir Pekan Guru Penggerak Part 9: Pembelajaran Berdiferensiasi

Oleh: Jamaluddin Tahuddin

Kegiatan di pekan ke-9 diawali dengan Pretest untuk modul 2 kemudian dilanjutkan dengan materi modul 2.1. Sebagaimana urutan MERRDEKA belajar, maka sebagaimana modul sebelumnya, modul 2.1 pun dimulai dari diri dengan mengaktivasi pengetahuan yang telah dimiliki terkait dengan pembelajaran berdiferensiasi dan mengidentifikasi apa saja yang ingin diketahui lebih lanjut. Pada sesi ini, kita diminta menceritakan pengalaman yang paling berkesan pada saat melakukan proses pembelajaran di dalam kelas dengan murid beragam. Pengalaman yang paling berkesan pada saat melakukan proses pembelajaran di dalam kelas adalah saat memberikan motivasi bagi salah seorang murid yang malas dengan memberikan penghargaan berupa pujian karena ia sudah mengangkat tangan dan menjawab pertanyaan di papan tulis. Saat itu sengaja saya membuat pertanyaan yang mudah supaya semua murid bisa menjawab. Alhasil murid yang sering menjadi bahan perbincangan guru-guru karena kemalasannya itu akhirnya berani mengangkat tangan dan menjawab di papan. Berkat pujian tersebut, ia menjadi semakin rajin ke sekolah bahkan setiap ada pertanyaan ia selalu mengangkat tangan sekalipun jawabannya lebih banyak salahnya daripada benarnya. Yang lebih mengherankan lagi bagi rekan-rekan guru yang lain, saat ditanya sama wali kelasnya mengenai cita-citanya, ia menjawab dengan penuh percaya diri bahwa ia ingin menjadi guru matematika. Sebelum mempelajari modul 2.1, saya mengetahui bahwa pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran yang menggunakan berbagai cara dan senantiasa menyesuaikan dengan keadaan murid. Selanjutnya, saya ingin mengetahui bagaimana menerapkan pembelajaran berdiferensiasi di kelas. Dari video yang ditayangkan, saya mendapatkan pelajaran bahwa pembelajaran seharusnya dirancang, dilaksanakan, dan dievaluasi berdasarkan kebutuhan belajar dan kodrat murid.

Pada sesi eksplorasi konsep, calon guru Penggerak diharapkan dapat menunjukkan pemahaman tentang yang dimaksud dengan pembelajaran berdiferensi dan melakukan pemetaan kebutuhan belajar murid berdasarkan minat, kesiapan, dan profil belajar. Harapan ini mengarah pada bagaimana mengelola kelas untuk memenuhi kebutuhan murid secara individu, latar belakang murid, pembelajaran sebelumnya, dan perkembangan keterampilan mereka, minat murid (di sekolah dan di luar), motivator, dan tujuan mereka, profil belajar murid, gaya belajar yang disukai oleh mereka, serta bagaimana menggunakan informasi tentang minat, kesiapan dan profil belajar murid untuk membantu guru merancang dan melaksanakan pembelajaran secara efektif. Oleh karena itu, penting untuk mengingat satu persatu murid di kelas, bagaimana karakteristik setiap anak, apa kekuatan mereka, bagaimana gaya belajar mereka, apa minat mereka, siapa yang memiliki keterampilan menghitung paling baik, siapa yang sebaliknya, siapa yang paling menyukai kegiatan kelompok, siapa yang justru selalu menghindar saat bekerja kelompok, siapa yang level membacanya paling tinggi, siapa murid yang masih perlu dibantu untuk meningkatkan keterampilan memahami bacaan, siapa yang paling senang menulis, dan siapa yang lebih senang berbicara. Sebagai contoh, pada sesi ini diberikan contoh kasus yang dialami oleh Ibu Nur, seorang guru kelas 3 SD dengan jumlah murid sebanyak 32 murid. Bu Nur memperhatikan bahwa 3 murid selalu selesai lebih dahulu saat diberikan tugas menyelesaikan soal-soal perkalian. Karena dia tidak ingin ketiga anak ini tidak ada pekerjaan dan malah mengganggu murid lainnya, akhirnya ia berinisiatif untuk menyiapkan lembar kerja tambahan untuk 3 anak tersebut. Jadi jika anak-anak lain mengerjakan 15 soal perkalian, maka untuk 3 anak tersebut, Bu Nur menyiapkan 25 soal perkalian. Menurut saya, strategi yang dilakukan oleh Ibu Nur kurang tepat, karena hal itu akan menimbulkan anggapan bagi ketiga murid tersebut bahwa tugas mereka akan ditambah jika menyelesaikan tugas lebih dulu. Sehingga perlakuan tersebut justru bisa membuat ketiganya menjadi malas mengerjakan tugas lebih dulu. Mungkin ada baiknya sekiranya Ibu Nur menjadikan ketiganya sebagai tutor sebaya bagi teman-temannya yang lain. Jika saya sebagai Ibu Nur, maka saya akan menjadikan ketiganya sebagai tutor sebaya bagi teman-temannya yang lain terutama mereka yang belum memahami cara menyelesaikan soal-soal perkalian tersebut. Hal ini tentu akan membuat ketiganya sedikit berbangga karena mendapatkan penghargaan berupa kepercayaan dari guru untuk menjadi tutor. Selain itu, tugas guru juga bisa lebih terbantu dalam membimbing murid menyelesaikan soal-soal perkalian. Menurut Tomlinson (2000), Pembelajaran Berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid. Namun demikian, pembelajaran berdiferensiasi bukanlah berarti bahwa guru harus mengajar dengan 32 cara yang berbeda untuk mengajar 32 orang murid. Bukan pula berarti bahwa guru harus memperbanyak jumlah soal untuk murid yang lebih cepat bekerja dibandingkan yang lain. Pembelajaran berdiferensiasi juga bukan berarti guru harus mengelompokkan yang pintar dengan yang pintar dan yang kurang dengan yang kurang. Bukan pula memberikan tugas yang berbeda untuk setiap anak. Pembelajaran berdiferensiasi bukanlah sebuah proses pembelajaran yang semrawut (chaotic), yang gurunya kemudian harus membuat beberapa perencanaan pembelajaran sekaligus, dimana guru harus berlari ke sana kemari untuk membantu si A, si B atau si C dalam waktu yang bersamaan. Pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid.

Pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid. Keputusan-keputusan yang dibuat tersebut adalah yang terkait dengan:

  1. Bagaimana mereka menciptakan lingkungan belajar yang “mengundang’ murid untuk belajar dan bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar yang tinggi. Kemudian juga memastikan setiap murid di kelasnya tahu bahwa akan selalu ada dukungan untuk mereka di sepanjang prosesnya.
  2. Kurikulum yang memiliki tujuan pembelajaran yang didefinisikan secara jelas. Jadi bukan hanya guru yang perlu jelas dengan tujuan pembelajaran, namun juga muridnya.
  3. Penilaian berkelanjutan. Bagaimana guru tersebut menggunakan informasi yang didapatkan dari proses penilaian formatif yang telah dilakukan, untuk dapat menentukan murid mana yang masih ketinggalan, atau sebaliknya, murid mana yang sudah lebih dulu mencapai tujuan belajar yang ditetapkan.
  4. Bagaimana guru menanggapi atau merespon kebutuhan belajar muridnya. Bagaimana ia akan menyesuaikan rencana pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar murid tersebut. Misalnya, apakah ia perlu menggunakan sumber yang berbeda, cara yang berbeda, dan penugasan serta penilaian yang berbeda.
  5. Manajemen kelas yang efektif. Bagaimana guru menciptakan prosedur, rutinitas, metode yang memungkinkan adanya fleksibilitas. Namun juga struktur yang jelas, sehingga walaupun mungkin melakukan kegiatan yang berbeda, kelas tetap dapat berjalan secara efektif.

Jika kita mengacu ke kasus Ibu Nur diatas, maka keputusannya untuk memberikan soal tambahan, dengan jenis soal yang tetap sama serta tingkat kesulitan yang juga sama, kepada tiga murid yang selesai terlebih dahulu, belum dapat dikatakan sebagai diferensiasi. Apalagi, tujuan diberikannya soal tadi adalah agar tiga murid tersebut ada ‘pekerjaan’ sehingga tidak mengganggu murid yang lain.  Pembelajaran berdiferensiasi haruslah berakar pada pemenuhan kebutuhan belajar murid dan bagaimana guru merespon kebutuhan belajar tersebut. Dengan demikian, Ibu Nur perlu melakukan identifikasi kebutuhan belajar dengan lebih komprehensif, agar dapat merespon dengan lebih tepat terhadap kebutuhan belajar murid-muridnya, termasuk ketiga murid tersebut.

Selanjutnya, bagaimana melakukan pemetaan kebutuhan belajar murid. Tomlinson (2001) dalam bukunya yang berjudul How to Differentiate Instruction in Mixed Ability Classroom menyampaikan bahwa kita dapat mengkategorikan kebutuhan belajar murid, paling tidak berdasarkan 3 aspek. 

Ketiga aspek tersebut adalah:

  1. Kesiapan belajar (readiness) murid
  2. Minat murid
  3. Profil belajar murid

Sebagai guru, kita tentu tahu bahwa murid akan menunjukkan kinerja yang lebih baik jika tugas-tugas yang diberikan sesuai dengan keterampilan dan pemahaman yang mereka miliki sebelumnya (kesiapan belajar). Lalu jika tugas-tugas tersebut memicu keingintahuan atau hasrat dalam diri seorang murid (minat), dan jika tugas itu memberikan kesempatan bagi mereka untuk bekerja dengan cara yang mereka sukai (profil belajar).

Untuk lebih memahami tentang kesiapan belajar, diberikan contoh situasi dalam pelajaran bahasa Indonesia. Dimana Bu Nur ingin mengajarkan muridnya membuat karangan berbentuk narasi. Ia kemudian melakukan penilaian diagnostik. Ia menemukan bahwa ada tiga kelompok murid di kelasnya. 

  • Kelompok A adalah murid yang telah memiliki keterampilan menulis dengan struktur yang benar dan memiliki kosakata yang cukup kaya. Mereka juga cukup mandiri dan percaya diri dalam bekerja.
  • Kelompok B adalah murid yang memiliki keterampilan menulis dengan struktur yang benar, namun kosakatanya masih terbatas.
  • Kelompok C adalah murid yang belum memiliki keterampilan menulis dengan struktur yang benar dan kosakatanya pun terbatas

Apa yang dilakukan oleh Bu Nur di atas adalah memetakan kebutuhan belajar berdasarkan kesiapan belajar.

Kesiapan belajar (readiness) adalah kapasitas untuk mempelajari materi baru. Sebuah tugas yang mempertimbangkan tingkat kesiapan murid akan membawa murid keluar dari zona nyaman mereka, namun dengan lingkungan belajar yang tepat dan dukungan yang memadai, mereka tetap dapat menguasai materi baru tersebut.  

Ada banyak cara untuk membedakan kesiapan belajar. Tomlinson (2001) mengatakan bahwa merancang pembelajaran berdiferensiasi mirip dengan menggunakan tombol equalizer pada stereo atau pemutar CD. Untuk mendapatkan kombinasi suara terbaik biasanya Anda akan menggeser-geser tombol equalizer tersebut terlebih dahulu. Saat Anda mengajar, menyesuaikan “tombol” dengan tepat untuk berbagai kebutuhan murid akan menyamakan peluang mereka untuk mendapatkan materi, jenis kegiatan dan menghasilkan produk belajar yang tepat di kelas Anda.  

Tombol-tombol dalam equalizer tersebut mewakili beberapa perspektif kontinum yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat kesiapan murid. Dalam modul ini, kita akan mencoba membahas 6 dari beberapa contoh perspektif kontinum tersebut, dengan mengadaptasi alat yang disebut Equalizer yang diperkenalkan oleh Tomlinson (Tomlinson, 2001).

1. Bersifat mendasar - Bersifat transformatif

Saat sebagian murid dihadapkan pada sebuah ide yang baru, atau jika ide itu bukan di salah satu bidang yang dikuasai oleh murid, mereka sering membutuhkan informasi pendukung yang lebih jelas, sederhana, dan tidak bertele-tele untuk memahami ide tersebut. Mereka akan perlu waktu untuk berlatih menerapkan ide secara langsung. Jika murid berada dalam tingkatan ini, maka bahan-bahan materi yang mereka gunakan dan tugas-tugas yang mereka lakukan harus bersifat mendasar dan disajikan dengan cara yang membantu mereka membangun landasan pemahaman yang kuat. Di lain waktu, ketika murid dihadapkan pada ide-ide yang telah mereka pahami atau berada di area yang menjadi kekuatan mereka, maka dibutuhkan informasi yang lebih rinci dari ide tersebut. Mereka perlu melihat bagaimana ide tersebut berhubungan dengan ide-ide lain untuk menciptakan pemikiran baru. Kondisi seperti itu membutuhkan bahan dan tugas yang lebih bersifat transformatif. 

2. Konkret - Abstrak

Di lain kesempatan, guru mungkin dapat mengukur kesiapan belajar murid dengan melihat apakah mereka masih di tingkatan perlu belajar secara konkret atau sudah siap bergerak mempelajari sesuatu yang lebih abstrak.

3. Sederhana - Kompleks 

Beberapa murid mungkin perlu bekerja dengan materi lebih sederhana dengan satu abstraksi pada satu waktu; yang lain mungkin bisa menangani kerumitan berbagai abstraksi.

4. Terstruktur - Open Ended

Kadang-kadang murid perlu menyelesaikan tugas yang ditata dengan cukup baik untuk mereka, di mana mereka tidak memiliki terlalu banyak keputusan untuk dibuat. Namun, di waktu lain, murid siap menjelajah dan menggunakan kreativitas mereka.

5. Tergantung (dependent) - Mandiri (Independent)

Walaupun pada akhirnya kita mengharapkan bahwa semua murid kita dapat belajar, berpikir dan menghasilkan pekerjaan secara mandiri, namun sama seperti tinggi badan, mungkin seorang anak akan lebih cepat bertambah tinggi daripada yang lain. Dengan kata lain, beberapa murid mungkin akan siap untuk kemandirian yang lebih awal daripada yang lain.

6. Lambat - Cepat

Beberapa murid dengan kemampuan yang baik dalam suatu mata pelajaran mungkin perlu bergerak cepat melalui materi yang telah ia kuasai atau sedikit menantang. Tetapi di lain waktu, murid yang sama mungkin akan membutuhkan lebih banyak waktu daripada yang lain untuk mempelajari sebuah topik.

Perlu diingat bahwa kesiapan belajar murid bukanlah tentang tingkat intelektualitas (IQ). Hal ini lebih kepada informasi tentang apakah pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki murid saat ini, sesuai dengan keterampilan atau pengetahuan baru yang akan diajarkan.  Adapun tujuan melakukan pemetaan kebutuhan belajar murid berdasarkan tingkat kesiapan belajar adalah untuk memodifikasi tingkat kesulitan pada bahan pembelajaran, sehingga dipastikan murid terpenuhi kebutuhan belajarnya (Joseph, Thomas, Simonette & Ramsook, 2013: 29).

Perlu diingat bahwa kesiapan belajar murid bukanlah tentang tingkat intelektualitas (IQ). Hal ini lebih kepada informasi tentang apakah pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki murid saat ini, sesuai dengan keterampilan atau pengetahuan baru yang akan diajarkan.  Adapun tujuan melakukan pemetaan kebutuhan belajar murid berdasarkan tingkat kesiapan belajar adalah untuk memodifikasi tingkat kesulitan pada bahan pembelajaran, sehingga dipastikan murid terpenuhi kebutuhan belajarnya (Joseph, Thomas, Simonette & Ramsook, 2013).

Kita tahu bahwa seperti juga kita orang dewasa, murid juga memiliki minat sendiri. Ada murid yang minat nya sangat besar dalam bidang seni, matematika, sains, drama, memasak, dsb.  Minat adalah salah satu motivator penting bagi murid untuk dapat ‘terlibat aktif’ dalam proses pembelajaran. Tomlinson (2001) menjelaskan bahwa mempertimbangkan minat murid dalam merancang pembelajaran memiliki tujuan diantaranya: 

  • Membantu murid menyadari bahwa ada kecocokan antara sekolah dan keinginan mereka sendiri untuk belajar;
  • Menunjukkan keterhubungan antara semua pembelajaran;
  • Menggunakan keterampilan atau ide yang familiar bagi murid sebagai jembatan untuk mempelajari ide atau keterampilan yang kurang familiar atau baru bagi mereka, dan;
  • Meningkatkan motivasi murid untuk belajar.

Sepanjang tahun, murid yang berbeda akan menunjukkan minat pada topik yang berbeda. Gagasan untuk membedakan melalui minat adalah untuk "menghubungkan" murid pada pelajaran untuk menjaga minat mereka. Dengan menjaga minat murid tetap tinggi, diharapkan dapat meningkatkan kinerja murid.

Beberapa ide yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dan mempertahankan minat diantaranya misalnya:

  • Meminta murid untuk memilih apakah mereka ingin mendemonstrasikan pemahaman dengan menulis lagu, melakukan pertunjukan atau menari.
  • Menggunakan teknik Jigsaw dan pembelajaran kooperatif.
  • Menggunakan strategi investigasi kelompok berdasarkan minat.
  • Membuat kegiatan “sehari di tempat kerja”. Murid diminta mempelajari bagaimana sebuah keterampilan tertentu diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Mereka boleh memilih profesi yang sesuai minat mereka.
  • Membuat model.

Profil belajar murid terkait dengan banyak faktor, seperti: bahasa, budaya, kesehatan, keadaan keluarga, dan kekhususan lainnya. Selain itu juga akan berhubungan dengan gaya belajar seseorang. Menurut Tomlinson (dalam Hockett, 2018) profil belajar murid ini merupakan pendekatan yang disukai murid untuk belajar, yang dipengaruhi oleh gaya berpikir, kecerdasan, budaya, latar belakang, jenis kelamin, dll. 

Tujuan dari pemetaan kebutuhan belajar murid berdasarkan profil belajar adalah untuk memberikan kesempatan kepada murid untuk belajar secara natural dan efisien. Namun demikian, sebagai guru, kadang-kadang kita secara tidak sengaja cenderung memilih gaya belajar yang sesuai dengan gaya belajar kita sendiri.  Padahal kita tahu setiap anak memiliki profil belajar sendiri. Memiliki kesadaran tentang ini sangat penting agar guru dapat memvariasikan metode dan pendekatan mengajar mereka. Penting juga untuk diingat bahwa kebanyakan orang lebih suka kombinasi profil. Menurut Tomlinson (2001), ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi pembelajaran seseorang. Berikut ini adalah beberapa yang harus diperhatikan:

  • Lingkungan: suhu, tingkat aktivitas, tingkat kebisingan, jumlah cahaya.
  • Pengaruh Budaya: santai - terstruktur, pendiam - ekspresif, personal - impersonal.
  • Visual: belajar dengan melihat (diagram, power point, catatan, peta, grafik organisator).
  • Auditori: belajar dengan mendengar (kuliah, membaca dengan keras, mendengarkan musik).
  • Kinestetik: belajar sambil melakukan (bergerak dan meregangkan tubuh, kegiatan hands on, dsb).

Berdasarkan pemaparan mengenai ketiga aspek dalam mengkategorikan kebutuhan belajar murid, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa untuk mengoptimalkan pembelajaran dan tentunya hasil dari pembelajaran murid diperlukan pembelajaran yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan belajar murid.

Pada bagian akhir eksplorasi konsep, diberikan 2 (dua) video mengenai pembelajaran berdiferensiasi. Video 1

Video 2

Dalam video pertama, dipaparkan strategi pembelajaran berdiferensiasi berdasarkan kebutuhan belajar murid ditinjau dari 3 aspek, yaitu kesiapan belajar, minat belajar, dan profil belajar murid. Strategi pembelajaran berdiferensiasi yang dipaparkan adalah diferensiasi konten, proses, dan produk. Diferensiasi konten terkait penyesuaian materi dan bahan ajar berdasarkan kebutuhan belajar murid. Diferensiasi proses terkait penyesuaian layanan dalam membantu murid memahami materi dan bahan ajar yang diberikan. Diferensiasi produk terkait penyesuaian produk yang dihasilkan sebagai wujud pemahaman murid terhadap materi dan bahan ajar yang diberikan. Sementara dalam video kedua, dipaparkan mengenai lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran berdiferensiasi. Dalam paparan tersebut, disebutkan bahwa lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran berdiferensiasi adalah lingkungan belajar yang didasari oleh konsep komunitas belajar dimana semua anggotanya adalah pembelajar.

Gagasan baru yang didapatkan dari video tersebut adalah bahwa pembelajaran yang berdiferensiasi tidak hanya membutuhkan penyesuaian terhadap konten saja, melainkan harus juga ada penyesuaian proses dan produk terhadap kebutuhan belajar murid. Akan tetapi, diferensiasi konten yang didasarkan pada aspek kesiapan belajar murid akan menjadi sulit diimplementasikan secara maksimal. Hal ini disebabkan karena terkadang masih banyak murid yang belum tuntas pada materi sebelumnya dan merupakan materi prasyarat. Sementara materi ajar telah tersusun rapi dalam KI/KD yang tercantum dalam kurikulum. Kalaupun dilakukan penyesuaian materi dengan kesiapan belajar murid, tentunya tetap mengikuti materi dasar yang sudah tercantum dalam kurikulum.


Share:

Komentar Terbaru

Translate

Followers

Guru Itung. Powered by Blogger.

Contact Form

Name

Email *

Message *